ISLAM DAN SISTEM PEREKONOMIAN MODERN
Kita mengetahui dari beberapa kaidah yang telah diterangkan di atas di mana ekonomi Islam tegak di atas kaidah-kaidah tersebut. Dia merupakan sistem yang berbeda dengan sistem-sistem yang ada saat ini, baik yang berorientasi ke kanan atau ke kiri atau yang dikenal dengan sistem Materialis dan Sosialis. Islam berbeda dengan keduanya secara menyeluruh dalam berbagai segi, apalagi Islam lebih mendahului keduanya lebih dari 12 abad yang lalu.
Islam dan Materialisme
Sistem ekonomi Materialis tegak di atas pengkultusan terhadap kebebasan individu dan terlepas dari segala ikatan. Setiap individu bebas memiliki, mengembangkan dan menafkahkan dengan berbagai sarana penasaran klik selanjutnya... yang dimiliki tanpa adanya aturan dan pembatasan.
Adapun hak masyarakat atas hartanya dan di dalam pengawasannya serta perhitungan atas pemilikannya, pengembangan dan pendistribusiannya, adalah hak yang lemah, bahkan hampir tidak memiliki pengaruh apa-apa. Sementara dari hati nurani mereka tidak lagi memiliki rasa pengawasan dan tanggung jawab yang menjadikannya menghormati kebenaran dan memeliharanya. Bahkan setiap saat mereka berusaha sedapat mungkin untuk lolos dari pengawasan hukum.
Adapun Islam, sungguh telah kita lihat bahwa dia meletakkan batas-batas atas pemilikan (hak milik) dan karya, juga batas-batas dalam pengembangan, pengeluaran dan pembelanjaannya. Islam menentukan batas-batas atas pemilikan, yang sebagiannya bersifat selamanya dan sebagian lagi bersifat sementara. Islam juga menghapus bentuk pemilikan yang diharamkan dan melarang riba, menimbun, menipu dan yang lainnya dari segala sesuatu yang menafikan (mengesampingkan) akhlaq dan bertentangan dengan kemaslahatan umum. Islam juga menjadikan hati nurani seorang Muslim untuk selalu melihat Al Khaliq Allah SWT, sebelum makhluq-Nya dalam setiap permasalahan. Dialah yang menjaga dan mengawasi pertama kali untuk memelihara hak-hak tersebut dari pemilik harta yang sesungguhnya. Dia-lah Allah SWT.
Islam juga memberi hak kepada seorang hakim syar'i yang melaksanakan hukum Allah untuk mencabut pemilikan seseorang, apabila ternyata memang bertentangan dengan kemaslahatan umum. Demikian juga Islam memberi wewenang kepadanya untuk tidak memberikan harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya dan orang yang menghambur-hamburkan harta serta menahan mereka untuk tidak mempergunakan harta yang pada hakekatnya merupakan harta masyarakat atau harta Allah menurut prinsip "Istikhlaf" (amanah), sebagaimana yang telah kami terangkan sebelum ini.
Islam dan Sosialisme
Jika faham Ekonomi Materialis Liberal mengkultuskan kebebasan individu sampai batas yang telah kita sebutkan maka faham Ekonomi Sosialis juga memiliki pandangan tersendiri, antara lain sebagai berikut:
Sistem ekonomi Sosialis menghilangkan pemilikan individu dan kebebasannya dan menganggap semua kekayaan itu sebagai perisai pemerintahan. Prinsip ini sangat diagung-agungkan oleh masyarakat sebagai perwakilan dari negara.
Individu dalam sistem ini tidak berhak memiliki tanah, pabrik pekarangan atau yang lainnya dari sarana produksi, tetapi ia wajib bekerja sebagai karyawan pemerintah sebagai pemilik segala sumber produksi dan yang berhak mengoperasikannya. Pemerintah juga melarang seseorang untuk memiliki modal harta meskipun melalui prosedur yang halal.
Adapun dalam Islam kita mengetahui bahwa dia menghargai hak milik pribadi, karena itu termasuk konsekuensi fitrah dan termasuk bagian dari kebebasan (kemerdekaan). Bahkan termasuk sifat dasar kemanusiaan, karena hak milik pribadi itu merupakan motivasi yang paling kuat untuk merangsang produktivitas dan meningkatkannya. Islam tidak membedakan antara sarana produksi dan yang lainnya, tidak pula membedakan antara pemilikan besar atau kecil, selama ia memperolehnya dengan cara yang sah menurut syari'at.
Sesungguhnya faham Sosialis Marxisme itu tegak di atas perang antar golongan dan mengobarkan api permusuhan antar golongan yang satu dengan yang lainnya dengan mempergunakan sarana kekerasan yang penuh pertumpahan darah. Sehingga pada akhirya seluruh golongan itu hancur, kecuali satu golongan yaitu kaum "Proletar" termasuk di dalamnya kaum buruh rakyat kecil.
Padahal yang sebenarnya menang bukanlah dari kalangan buruh, tetapi sekelompok manusia yang bekerja di partai dan militer yang berkuasa atas nama golongan buruh di segala bidang dan melarang sebagian besar penduduk dari segala sesuatu.
Oleh karena itu akhir penjelasan dari Karl Marx adalah, "Wahai kaum buruh sedunia bersatulah!" untuk melawan kelompok-kelompok lainnya.
Adapun Islam, aturan dan falsafahnya tegak di atas persaudaraan antar manusia dan menganggap mereka semuanya satu keluarga dan memperbaiki hubungan di antara mereka apabila terjadi ketidakberesan. Islam menganggap hal itu lebih mulia daripada shalat atau puasa sunnah. Maka jelaslah perbedaan antara orang yang mengajak para buruh untuk bersatu melawan yang lainnya dengan orang yang mengajak manusia seluruhnya untuk bersaudara dan menjalin cinta kasih sesama mereka. Nabi SAW bersabda:
"Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Ahmad dan Muslim)
Faham Sosialis Marxis selalu diliputi oleh tekanan politik, dan teror pemikiran serta berbagai pelarangan terhadap kebebasan. Mereka menyembunyikan aspirasi kelompok-kelompok yang menentang sistem dan menuduh setiap kelompok oposisi sebagai sikap primitif, kontra revolusi, pengkhianat atau dengan tuduhan yang lainnya. Sama saja sejak masa "Lenin" sampai hari ini. Dan Lenin pernah menulis kepada salah seorang sahabatnya, ia mengatakan, "Sesungguhnya tidak mengapa membunuh tiga perempat penduduk dunia agar sisanya seperempat menjadi Sosialis."
Adapun Islam itu tegak di atas dasar musyawarah, dan menjadikan nasihat pemerintah itu termasuk inti ajarannya, dan mendidik masyarakat untuk menyelamatkan orang yang berbuat kejahatan dengan lembut dan beramar ma'ruf nahi munkar serta memperingatkan ummat apabila melihat orang yang zhalim, kemudian bila mereka tidak memegang kedua tangannya (mencegahnya) maka Allah akan menyegerakan siksa untuk mereka dari sisi-Nya.istem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Senin, 07 Juni 2010
SYARI'AT DALAM ARTI YANG LUAS BUKANLAH MADZHAB TERTENTU
Sesungguhnya hukum Islam yang dicita-citakan itu bukan berarti fiqih salah satu madzhab pada masa tertentu, tetapi yang di maksud di sini adalah kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang pokok yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an dan Sunnah, dan hidup di bawah naungan fiqih yang subur sejak masa sahabat, kemudian generasi setelahnya yang dicatat oleh kitab-kitab madzahib yang beraneka ragam dan kitab-kitab hadits serta fiqih perbandingan madzhab.
Kekayaan khasanah yang besar ini dari berbagai ijtihad merupakan asas yang kuat yang tidak boleh direndahkan dan tidak boleh dilupakan bagi ijtihad modern mana pun. Tidak bisa diterima bahwa harus berijtthad lagi mulai dari nol, tanpa menyandarkan yang baru kepada yang lama. Akan tetapi rincian-rincian fiqih ini tidak menjadi keharusan bagi kita kecuali berdasarkan dalil-dalil syar'i yang kuat, baik secara nash atau kaidah.
Di antara kaidah yang ditetapkan yang tidak ada khilaf --minimal dari segi teori--adalah, sesungguhnya fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, penasaran klik selanjutnyatempat, keadaan dan kebiasaan. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh sejumlah dari muhaqqiqin dari ulama madzahib yang diikuti, seperti Al Qarafi, Ibnul Qayyim, dan Ibnu 'Abidin 14).
Kaidah tersebut pada dasarnya adalah Al Qur'an, Sunnah, petunjuk sahabat dan amalan ulama salaf dan banyak diterapkan pada masa kita sekarang ini. Seperti masalah batas maksimal masa hamil yang diperselisihkan ulama dalam hal ini. Ada sebagian mereka yang mengatakan sampai empat tahun, bahkan lima tahun, bahkan ada yang tujuh tahun, demikian itu karena mereka tidak mengerti "hamil bohong" yang seakan-akan benar-benar hamil.
Karena itulah maka tidak boleh kita membatasi diri kita untuk beriltizam kepada satu madzhab dalam setiap permasalahan. Karena boleh jadi madzhab tersebut lemah alasannya dalam sebagian permasalahan atau tidak bisa mewujudkan tujuan syari 'at dan kemaslahatan manusia, maka tidak dosa bagi kita untuk meninggalkan madzhab seperti itu untuk beralih pada madzhab-madzhab yang lain. Karena syari'at Islam itu sangat luas, seperti masalah wajibnya janji, jual beli murabahah (membagi laba) zakatnya sesuatu yang keluar dari bumi, zakatnya harta yang dimanfaatkan, sumpah dalam talak, talaknya orang mabuk dan marah, talak tiga kali dengan satu kata, batas maksimal orang hamil dan sebagainya.
14) Al Qurafi dalam Kirab Al Ihkam, Ibnu Qayyim dalam I'lam Al Mauqi'in. Ibnu Abidin dalam Risalah Nasyral 'Urf
Sabtu, 05 Juni 2010
MENGEMBANGKAN HARTA DENGAN SESUATU YANG TIDAK MEMBAHAYAKAN AKHLAQ DAN KEPENTlNGAN UMUM
Islam mengajak kepada para pemilik harta untuk mengembangkan harta mereka dan menginvestasikannya, sebaliknya melarang mereka untuk membekukan dan tidak memfungsikannya. Maka tidak boleh bagi pemilik tanah menelantarkan tanahnya dari pertanian, apabila masyarakat memerlukan apa yang dikeluarkan oleh bumi berupa tanaman-tanaman dan buah-buahan. Demikian juga pemilik pabrik di mana manusia memerlukan produknya, karena ini bertentangan dengan prinsip "Istikhlaf" (amanah peminjaman dari Allah).
Demikian juga tidak diperbolehkan bagi pemilik uang untuk menimbun dan menahannya dari peredaran, sedangkan ummat dalam keadaan membutuhkan untuk memfungsikan uang itu untuk proyek-proyek yang bermanfaat dan dapat membawa dampak berupa terbukanya lapangan kerja bagi para pengangguran dan menggairahkan aktivitas perekonomian. Tidak heran jika Al Qur'an memberi peringatan kepada orang-orang yang menyimpan harta dan yang bersikap egois dengan ancaman yang berat. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannnya dahi mereka penasaran?klik selanjutnya!!!lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (At Taubah: 34-35)
Akan tetapi Islam memberikan batasan pemilikan harta dalam pengembangan dan investasinya dengan cara-cara yang benar (syar'i) yang tidak bertentangan dengan akhlaq, norma dan nilai-nilai kemuliaan. Tidak pula bertentangan dengan kemaslahatan sosial karena dalam Islam tidak terpisah antara ekonomi dan akhlaq. Oleh karenanya, bukanlah pihak pemodal itu bebas sebagaimana dalam teori materialistis. Seperti yang pernah diyakini oleh kaum Syu'aib dahulu, bahwa mereka bebas untuk mempergunakan harta mereka sesuai dengan keinginan mereka. Al Qur'an mengungkapkan hal itu sebagai berikut:
"Hai Syu 'aib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami." (Huud: 87)
Karena itulah Islam mengharamkan cara-cara berikut ini dalam mengembangkan harta
1. Riba
Di dalam riba itu seseorang berusaha memenuhi kebutuhan orang yang ingin meminjam harta, tetapi di saat yang sama ia mengharuskan kepada orang yang meminjam itu untuk memberi tambahan yang nanti akan diambilnya, tanpa ada imbalan darinya berupa kerja dan tidak pula saling memikirkan. Sehingga di sini yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pelaku riba bagaikan segumpal darah yang menyerap darah orang-orang yang bekerja keras, sedangkan ia tidak bekerja apa-apa, tetapi ia tetap memperoleh keuntungan yang melimpah ruah. Dengan demikian semakin lebar jurang pemisah di bidang sosial ekonomi antara kelompok-kelompok yang ada, dan api permusuhan pun semakin berkobar.
Oleh karena itu Islam sangat keras dalam mengharamkan riba dan memasukkannya di antara dosa besar yang merusak, serta mengancam orang yang berbuat demikian dengan ancaman yang sangat berat. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (Al Baqarah: 278-279)
Rasulullah SAW melaknati orang yang memakan riba, yang diberi makan, sekretarisnya dan kedua saksinya.
2. Ihtikar (menimbun di saat orang membutahkan)
Di dalam hadits shahih disebutkan:
"Tidak ada yang menimbun (barang ketika dibutuhkan) kecuali orang yang berdosa." (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
"Barangsiapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, maka ia telah terlepas dari Allah dan Allah pun terlepas dari padanya." (HR. Ahmad)
Ancaman itu datang karena orang yang menyimpan itu ingin membangun dirinya di atas penderitaan orang lain dan dia tidak peduli apakah manusia kelaparan atau telanjang, yang penting dia mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Semakin masyarakat memerlukan barang itu semakin dia menyembunyikannya, dan semakin senang dengan naiknya harga barang tersebut, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda:
"Seburuk-buruk hamba (Allah) adalah yang menimbun, apabila mendengar harga barang menurun ia merasa susah, dan apabila ia mendengar harga barang naik ia merasa gembira." (Disebutkan oleh Razin di dalam Jami'nya)
Para fuqaha' berselisih mengenai batas menyimpan barang yang diharamkan, apakah hanya makanan pokok atau segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat. Yang benar adalah pendapat yang dikatakan oleh Imam Abu Yusuf. "yaitu segala sesuatu yang berbahaya bagi manusia bila disimpan maka itu ihtikar (menimbun)"
3. Penipuan
Ini berlaku dalam segala macam bentuknya, Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa menipu (melakukan kecurangan) maka bukan termasuk ummatku." (HR. Muslim)
"Dua orang yang melakukan jual beli itu boleh memilih selama belum berpisah, jika keduanya jujur dan saling menjelaskan maka keduanya mendapat berkah dalam jual belinya, tetapi jika kedua-duanya saling mengumpat dan berdusta maka berkah jual belinya akan hilang." (HR. Muttafaqun'Alaih)
Di antara contoh penipuan adalah mengurangi takaran dan timbangan, sebagaimana disebutkan oleh Al Qur'an Al Karim sebagai berikut:
"Celakalah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dan orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (Al Muthaffifiin: 1-3)
Al Qur'an telah menceritakan kisah Syu'aib beberapa kali, beliau mengajak kaumnya dengan ikhlas dan secara terus menerus:
"Penuhilah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus (benar)." (Asy Syu'ara: 181-182)
4. Berdagang barang-barang yang diharamkan
Seperti khamr (arak) atau minuman keras lainnya, narkotik, daging babi, perkakas (alat-alat) yang diharamkan, seperti bejana dari emas dan perak, berhala dan patung-patung, serta bahan makanan yang membahayakan. Karena apabila Allah mengharamkan sesuatu maka Allah juga mengharamkan nilai dan harganya.
5. Segala sesuatu yang bertentangan dengan akhlaq
Segala sesuatu yang bertentangan dengan akhlaq yang mulia, atau dapat menjauhkan manusia dari agama yang benar atau membahayakan kepentingan masyarakat, maka itu termasuk mungkar yang diperangi oleh Islam dan ditolak oleh sistem ekonomi Islam. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
TIDAK BISA MENERAPKAN ISLAM DENGAN BENAR KECUALI ORANG YANG MENGIMANINYA
Sesungguhnya syari'at Islam tidak mungkin diterapkan dengan penerapan yang sebenarnya kecuali oleh orang-orang yang beriman (percaya) terhadap kesuciannya, Rabbaniyah sumbernya, keadilan hukumnya, ketinggian tujuannya, dan orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepada-Nya. Inilah yang membuat mereka bersemangat untuk memahaminya dengan pemahaman yang detail, memahami hukum-hukumnya dan tujuannya secara mendalam. Kemudian mereka berlomba untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ada di hadapannya, sebagaimana mereka senang untuk menjadi contoh yang baik terhadap pelaksanaan prinsip-prinsipnya dan teladan yang baik bagi orang-orang yang belum puas terhadapnya, sehingga orang lain bisa melihat mereka dalam keimanan, akhlaq dan perilakunya. Dengan begitu orang-orang yang melihat mereka akan mencintai wah pengen ya? klik selanjutnya!!!Sesungguhnya syari'at Islam tidak mungkin diterapkan dengan penerapan yang sebenarnya kecuali oleh orang-orang yang beriman (percaya) terhadap kesuciannya, Rabbaniyah sumbernya, keadilan hukumnya, ketinggian tujuannya, dan orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepada-Nya. Inilah yang membuat mereka bersemangat untuk memahaminya dengan pemahaman yang detail, memahami hukum-hukumnya dan tujuannya secara mendalam. Kemudian mereka berlomba untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ada di hadapannya, sebagaimana mereka senang untuk menjadi contoh yang baik terhadap pelaksanaan prinsip-prinsipnya dan teladan yang baik bagi orang-orang yang belum puas terhadapnya, sehingga orang lain bisa melihat mereka dalam keimanan, akhlaq dan perilakunya. Dengan begitu orang-orang yang melihat mereka akan mencintai Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Senin, 31 Mei 2010
UNGKAPAN TENTANG KEINDAHAN
Jika Islam telah mengajak untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya, maka Islam juga menekankan agar kita mengungkapkan perasaan dan kecintaan itu yang juga merupakan suatu keindahan tersendiri.
BERBAGAI SENI UCAPAN DAN SASTRA
Yang paling menonjol di bidang seni sastra adalah syair, prosa, kisah dan lainnya dari seluruh jenis seni sastra, karena Rasulullah SAW sendiri pernah mendengar syair dan menaruh perhatian padanya. Di antaranya adalah qasidah Ka'ab bin Zuhair yang terkenal dengan judul "Baanat Su'aadu," yang di dalamnya terdapat "GhazaI." Dan qasidahnya Nabighah Al Ja'di. Beliau berdoa untuknya dan mempergunakan syair tersebut untuk berkhidmah pada dakwah dan membelanya. Sebagaimana beliau juga pernah mempergunakan sebuah syair sebagai dalil, dalam sabdanya, "Perkataan yang paling benar diucapkan oleh penyair adalah perkataan Lubaid":
"lngatlah !, bahwa segala sesuatu selain Allah itu bathil." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Para sahabat Rasulullah SAW juga berdalil dengan mempergunakan syair, dan dengan syair pula mereka juga menafsirkan makna Al Qur'an. Bahkan di antara mereka ada yang pakar di bidang syair ini. Sebagaimana diceritakan dari Ali ra, bahwa ada sejumlah imam sahabat yang pakar di bidang syair.
Sebagian besar para imam adalah penyair, seperti wah pengen ya? klik selanjutnya!!!Abdullah bin Mubarak, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i dan yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya di antara sebagian bayan adalah sangat menarik." (HR. Malik, Ahmad dan Bukhari)
"Sesungguhnya di antara bayan itu menarik, dan sesungguhnnya di antara syair adalah bernilai hikmah." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwa sesungguhnya di sana ada sebagian syair yang tidak termasuk hikmah, bahkan berlawanan dengan hikmah. Seperti syair orang yang memuji kebathilan dan kebanggaan yang palsu, sindiran yang memusuhi dan ghazal (bermesraan) yang vulgar dan yang lainnya dari syair-syair yang tidak sesuai dengan norma-norma akhlaq dan nilai-nilai kemuliaan.
Karena itu Al Qur'an mencela para penyair yang tidak bermoral yang sama sekali tidak mengenal akhlaq. Hal itu dijelaskan dalam firman Allah SWT
"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya ? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak meryebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman. Dan orang-orang yang zhalim itu keluar akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." (Asy Syu'ara': 224-227)
Sya'ir dan sastra secara umum atau lebih umum lagi seni, mempunyai tujuan dan fungsi, yang keberadaannya tidak sia-sia. Yakni sya'ir dan sastra serta seni yang mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran.
Adapun perubahan-perubahan yang muncul dalam dunia syair dan sastra pada umumnya, maka tidak mengapa terjadi percobaan dan perkembangan dan saling mengambil dari selain kita selama itu masih sesuai dengan keyakinan yang kita pegang. Yang penting adalah tujuannya, dan isi serta fungsinya.
Bangsa Arab dahulu ahli dalam menciptakan syair-syair seperti "Al Muwasy-syahaat" dan jenis lainnya. Oleh karena itu tidak mengapa kita menerima adanya perubahan-perubahan baru di bidang syair (puisi) modern.
Demikian juga bangsa Arab dahulu pada masa-masa keislaman telah membuat berbagai bentuk karya sastra seperti "Maqamaut" dan kisah-kisah fiksi seperti "Risaalatul Ghufran" dan "Seribu Satu Malam." Mereka juga menerjemahkan karya orang lain seperti "Kalilah dan Daminah" dan dari kalangan Mutaakhiruun telah mengarang Malaahim Sya'ibiyah, seperti kisah "Antarah" dan sirah Bani Hilal dan yang lainnya.
Pada masa kita sekarang ini kita bisa memperbarui kembali syair-syair itu dan kita ambil dari selain kita selama itu bermanfaat untuk kita, seperti sandiwara, cerita dan kisah atau cerpen.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah pentingnya kita berpegang teguh pada bahasa Arab fushah (yang fasih) dan berhati-hati dari berbagai upaya jahat yang menghibur kita dengan berbagai dialek bahasa pasaran yang beraneka ragam pada bangsa Arab. Karena itu bertujuan untuk dapat menjauhkan ummat Islam dari Al Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana juga dapat memecah belah dan mengkotak-kotakan secara teritorial yang itu sangat diinginkan oleh kekuatan-kekuatan yang bermusuhan dengan Arab dan Islam.
Bahasa fushah adalah bahasa yang mudah difahami oleh khalayak umum, bahasa mass media, koran, radio, televisi dan bahasa sehari-hari.
Sebagaimana juga, bahasa fushah adalah bahasa yang mendekatkan antara orang-orang Arab dengan ummat Islam yang lainnya, yang sedang belajar bahasa Arab. Karena mereka tidak mempelajari bahasa Arab kecuali yang fasih, dan tidak bisa memahami kecuali dengan bahasa fasih.
Telah disampaikan kepada saya dalam berbagai kesempatan beberapa pertanyaan seputar masalah seni Islam seperti sandiwara dan kisah, di mana seorang penyusun skenario itu menampilkan berbagai aktor atau adegan yang bukan sebenarnya, apakah ini termasuk bohong yang diharamkan menurut syari'at?
Jawaban saya adalah, "Sesungguhnya itu tidak termasuk bohong yang dilarang, karena para pendengar mengenal dengan baik dan tahu betul bahwa maksudnya bukan memberitahu para pembaca, pendengar atau pemirsa kalau peristiwa itu benar-benar terjadi. Itu semua mirip dengan kata-kata atau suara yang ada pada burung dan hewan. Dia merupakan bentuk seni dan seakan pengucapan binatang yang diperankan oleh manusia. Sebagaimana Al Qur'an menceritakan bicaranya semut atau burung Hud-hud di hadapan Sulaiman AS, tentu keduanya tidak berbicara dengan bahasa Arab fasih seperti Al Qur'an, akan tetapi Al Qur'an menerjemahkan apa yang diucapkan oleh keduanya pada saat itu."
Saya juga pernah ikut serta dalam menyusun sandiwara dua kali. Pertama, sandiwara yang memerankan Nabi Yusuf AS, yaitu ketika awal aktivitas saya di bidang seni pada saat masih kelas satu SMA. Saat itu saya terpengaruh dengan sandiwaranya "Syauqi" yang populer. Kedua, sandiwara bersejarah tentang Sa'id bin Jubair dan Hajjaj bin Yusuf yang saya beri judul "Alim dan Thaghut," dan pernah saya perankan di banyak negara dan mendapat sambutan baik. Berbeda dengan yang pertama, karena yang pertama itu berkaitan dengan Nabi yang diutus, dan kesepakatan ulama' saat ini menegaskan bahwa Nabi itu tidak boleh diperankan (dengan orang).
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
DALIL-DALIL ORANG YANG MENGHARAMKAN LAGU (NYANYIAN) DAN BANTAHAN DARI ULAMA LAINNYA
Pertama. Mereka mengharamkan lagu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud dan Ibnu Abbas serta sebagian Tabi'in, bahwa mereka mengharamkan nyanyian berdasarkan firman Allah SWT, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan. (Luqman: 6)
Mereka menafsirkan "Lahwal Hadits" (perkataan yang tidak berguna) di sini dengan nyanyian (lagu).
Ibnu Hazm mengatakan, "Tak ada alasan untuk mempergunakan ayat tersebut sebagai dalil atas haramnya lagu-lagu karena beberapa alasan:
1. Sesungguhnya tidak ada alasan (yang paling kuat) bagi siapa pun selain dari Rasulullah SAW.
2. Pendapat di atas bertentangan dengan pendapat para sahabat yang lainnya dan para tabi'in.
3. Sesungguhnya keterangan ayat itu sendiri membatalkan hujjah mereka, karena di dalam ayat tersebut terdapat sifat orang berbuat demikian maka kafir tanpa khilaf, yakni apabila menjadikan jalan Allah sebagai pelecehan. Ibnu Hazm mengatakan, "Seandainya ada seseorang yang mempergunakan mushaf untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah dan menjadikannya sebagai ejekan, wah seru? klik selanjutnya!!!maka ia kafir, maka inilah yang dicela oleh Allah SWT dan Allah sama sekali tidak mencela orang mempergunakan perkataan yang main-main untuk permainan dan menghibur diri, bukan untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah. Maka batallah hujjah mereka. Demikian juga sebaliknya, orang yang keasyikan membaca Al Qur'an dan hadits atau ngobrol atau kesibukan dengan lagu-lagu dan lainnya sehingga melalaikan shalat, maka dia fasik, dan bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Dan barangsiapa yang tidak menyia-nyiakan sedikit pun dari kewajiban-kewajiban itu karena melakukan apa-apa yang telah kami sebutkan, maka ia seorang yang muhsin (berbuat kebajikan)" (Al Muhalla: 9/60 cet. Al Munirah)
Dalil yang kedua dari orang-orang mengharamkan nyanyian adalah firman Allah SWT dalam memuji orang-orang yang beriman. Allah berfirman:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling dari padanya." (Al Qashash: 55)
Dan nyanyian termasuk "Al laghwu" (perkataan yang tidak berguna), maka wajib bagi kita untuk menghindarinya. Pendapat ini dijawab, bahwa secara zhahir dari ayat ini "Al laghwu" adalah perkataan kotor seperti mencaci maki, perkataan yang menyakitkan dan sebagainya. Karena kesempurnaan ayat membuktikan hal itu.
"Dan mereka berkata, "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal-mu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." (Al Qashash: 55)
Ini mirip dengan firman Allah SWT yang menjelaskan sifat-sifat 'Ibadur Rahman:
"Dan apabila orang-orang jahil itu mengejek mereka, mereka (balas) mengatakan dengan ucapan selamat ." (Al Furqan: 63)
Kalau kita pasrah bahwa sesungguhnya Al laghwu dalam ayat tersebut meliputi nyanyian, pasti kita mendapatkan ayat itu mendorong kita untuk berpaling dari mendengarkan dan memujinya, padahal tidak demikian.
Kata "Al Laghwu" seperti kata "Al Baathil" yang berarti tidak berguna. Dan mendengarkan apa-apa yang tidak berguna itu tidak haram selama tidak menelantarkan hak atau melalaikan yang wajib.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa ia memberi keringanan dalam masalah mendengarkan lagu, maka ia ditanya, "Apakah hal itu kelak di hari kiamat akan dimasukkan sebagai kebaikanmu atau keburukanmu?" Beliau menjawab, "Tidak termasuk hasanaat dan tidak termasuk sayyiaat, karena itu mirip dengan Al laghwu." Allah SWT berfirman:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang main-main (yang tidak dimaksud untuk bersumpah)." (Al Baqarah: 225)
Imam Al Ghazali mengatakan, "Apabila menyebut Asma Allah Ta'ala atas sesuatu dengan cara bersumpah, dengan tanpa aqad dan tidak bersungguh-sungguh saja tidak dikenakan sanksi, apa lagi dengan syair dan lagu-lagu.22)
Selain itu kita katakan bahwa tidak semua nyanyian itu termasuk "Al laghwu." Sesungguhnya itu tergantung pada niat orangnya, karena niat yang baik itu bisa merubah suatu permainan menjadi suatu ibadah, dan bergurau menjadi suatu ketaatan sementara niat yang kotor itu bisa menghapus amal kita yang zhahirnya beribadah sementara bathinnya riya, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu ." (HR. Muslim)
Di sini kita bisa mengutip kata-kata Ibnu Hazm yang baik di dalam kitabnya "Al Muhalla" sebagai sanggahan terhadap orang-orang yang melarang lagu-lagu. Beliau mengatakan, "Mereka yang mengharamkan menyanyi itu berhujjah dan mengatakan, 'Apakah menyanyi itu barang yang haq atau tidak', tidak perlu pendapat yang ketiga, yang jelas Allah SWT sendiri mengatakan,
"Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan" (Yunus: 32)
Maka jawaban kita, Wabillahit Taufiq, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya diterimanya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap (amal) seseorang tergantung pada niatnya ..." (H. Muttafaqun 'Alaih). Maka barang siapa yang mendengarkan lagu-lagu untuk membantu dia bermaksiat kepada Allah, maka dia fasiq. Demikian juga terjadi pada selain lagu-lagu. Tetapi barangsiapa yang dengan lagu itu dia berniat untuk menghibur dirinya dan untuk memperkuat taatnya kepada Allah dan dengan lagu-lagu itu ia bersemangat untuk berbuat kebajikan maka ia termasuk berbuat ketaatan dan kebaikan, dan perbuatannya termasuk barang haq. Dan barang siapa tidak berniat taat atau maksiat maka itu termasuk laghwun yang dimaafkan, seperti orang yang keluar ke kebunnya dan duduk di pintu rumahnya untuk bersenang hati dan mewarnai bajunya dengan warna keemasan atau hijau atau yang lainnya serta memanjangkan betisnya atau menekuknya serta seluruh aktifitasnya." (Al Muhalla: 9/60)
Ketiga. Dalil yang ketiga adalah hadits Rasulullah SAW:
"Setiap permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin maka itu suatu kebathilan, kecuali tiga permainan: pemainan suami dengan isterinya, pelatihannya terhadap kudanya, dan melemparkan anak panah dari busurnya" (HR. Ashabus Sunan - Muththarib)
Sementara lagu-lagu adalah termasuk selain tiga permainan yang disebutkan dalam hadits ini.
Orang-Orang yang memperbolehkan menyanyi mengatakan bahwa hadits tersebut dha'if, seandainya shahih pasti menjadi hujjah, bahwa ungkapan Nabi "Itu adalah bathil" itu tidak menunjukkan pengharaman, tetapi menunjukkan tidak berguna. Abu Darda' pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku akan melakukan untuk diriku sedikit dari yang bathil agar diriku kuat untuk melakukan yang haq (kebenaran)." Karena sesungguhnya pembatasan tiga hal dalam hadits tersebut tidak dimaksudkan untuk pembatasan mutlak. Buktinya pernah terjadi orang-orang Habasyah bermain pedang di Masjid Nabawi, itu juga di luar dari tiga hal tersebut, dan ini ditetapkan dalam hadits shahih.
Tidak diragukan lagi bahwa bersenang-senang di kebun dan mendengar suara-suara burung serta berbagai permainan yang dilakukan oleh seseorang itu sama sekali tidak diharamkan, meskipun boleh kita katakan itu bathil (tanpa guna) secara langsung.
Keempat. Mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Mu 'allaq), dari Abi Malik atau 'Amir Al Asy'ari, satu keraguan dari perawi, dari Nabi SAW ia bersabda:
"Benar-benar akan ada suatu kaum dari ummatku yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras) dan alat-alat musik." (HR. Bukhari - Mu'allaq)
Hadist tersebut meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia termasuk "Mu'allaq," bukan termasuk hadits yang sanadnya muttashil (bersambung). Oleh karena itu Ibnu Hazm menolak karena sanadnya terputus, selain hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matanya tidak selamat dari kegoncangan (idhtiraab).
Al Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung hadits ini, dan beliau berhasil untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar pada satu perawi yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli. Satu perawi itu adalah "Hisyam Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun sebagai Khatib Damascus dan muqri'nya serta muhaddits dan alimnya, bahkan Ibnu Ma'in dan Al 'Ajli men-tautsiq. Tetapi Abu Dawud mengatakan, "Dia meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada sandarannya (yang benar dari Rasul)."
Abu Hatim juga berkata, "Ia shaduq (sangat jujur), tetapi telah berubah (hafalannya), sehingga Ibnu Sayyar pun mengatakan seperti itu."
Imam Ahmad mengatakan, "Ia thayyasy dan khafif (hafalannya berkurang).' Imam Nasa'i mengatakan, "Tidak mengapa (ini bukan pentautsiq-an secara mutlak)."
Meskipun Imam Adz-Dzahabi membelanya, dengan mengatakan, Shadaq dan banyak meriwayatkan, namun ada kemunkarannya.
Para ulama juga mengingkari karena ia tidak meriwayatkan hadits kecuali memakai upah.
Orang seperti ini tidak bisa diterima haditsnya pada saat-saat terjadi perselisihan pendapat, terutama dalam masalah yang pada umumnya sudah menjadi fitnah.
Meskipun dalil tersebut, katakanlah, ada, tetapi kata-kata "Al Ma'aazil" itu belum ada kesepakatan maknanya secara pasti, apa sebenarnya. Sehingga ada yang mengatakan "permainan-permainan," ini sangat global. Ada juga yang mengatakan alat-alat musik.
Kalau seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik, maka redaksi hadits yang mu'allaq di dalam Bukhari itu tidak sharih (tidak jelas) di dalam mengartikan haramnya "Al Ma'azif." Karena ungkapan "Yastahilluna" (menghalalkan) menurut Ibnu 'Arabi mempunyai dua makna, pertama meyakini bahwa itu halal, dan yang kedua, suatu majaz (ungkapan tidak langsung) tentang memperlonggar dalam mempergunakan itu semua, karena seandainya itu adalah arti yang sebenarnya maka itu kufur, karena menghalalkan yang haram secara pasti seperti minuman keras, zina itu kufur secara ijma'.
Seandainya kita sepakat atas haramnya itu semua, maka apakah itu berarti pengharaman terhadap seluruh apa yang disebutkan di dalam hadits itu, atau masing-masing ada hukumnya sendiri-sendiri? Maka yang pertama itulah yang rajih, karena pada kenyataannya hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok manusia yang tenggelam dalam kemewahan, malam-malam merah dan minuman keras . Mereka yang hidup di antara khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu, zina dan sutera. Karena itulah Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dari Abi Malik Al Asy'ari dengan kata-kata sebagai berikut:
"Sungguh akan ada manusia dari ummatku yang meminum khamr, mereka menamakannya bukan dengan namanya, kepala mereka dipenuhi dengan alat-alat musik dan biduanita (lagu-lagu dan artis). Sungguh Allah akan memasukkan mereka ke dalam tanah dan akan mengganti rupa mereka dengan kera dan babi." (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Bukhari dalam Tarikhnya)
Seluruh perawi yang meriwayatkan hadits dari selain Hisyam bin Ammar telah menjadikan ancaman itu pada orang yang meminum minuman keras, dan bukanlah pada ma'azif (alat-alat musik) itu sebagai penyempurna dan yang mengikuti bagi mereka.
Kelima. Mereka juga berdalil dengan hadits dari 'Aisyah RA
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan biduanita (artis), menjual belikannya, menghargainya, dan mengajarinya."
Sebagai jawabannya sebagai berikut:
1. Hadits ini dha'if, dan seluruh hadits yang mengharamkan jual beli artis penyanyi adalah dha'if. (Ibnu Hazm dalam Al Muhalla: 9/59-62)
2. Imam Al Ghazali mengatakan, "Yang dimaksud penyanyi di sini adalah penyanyi wanita yang bernyanyi di hadapan pria dalam majelis khamr, dan menyanyinya para wanita di hadapan laki-laki fasik dan orang yang dikhawatirkan ada fitnah itu haram, mereka tidak bermaksud dengan fitnah itu kecuali dilarang. Adapun menyanyinya budak wanita di hadapan pemiliknya itu tidak difahami haram dari hadits ini. Bahkan kepada selain pemiliknya pun ketika tidak ada fitnah, dengan dalil hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain yaitu nyanyian dua budak wanita di rumah 'Aisyah RA, yang akan kami jelaskan nanti. (Al Ihya':1 148)
3. Para penyanyi dari budak wanita itu memiliki unsur penting dalam aturan perbudakan, di mana Islam datang untuk memberantasnya secara bertahap. Dan Islam tidak sependapat, hikmah ini menetapkan adanya kelas tertentu pada masyarakat Islam. Maka apabila ada hadits yang melarang memiliki budak penyanyi dan memperjual belikan, itu berarti dalam rangka merobohkan sistem perbudakan yang kokoh.
Keenam. Mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Nafi', bahwa sesungguhnya Ibnu Umar itu pernah mendengar suara seruling penggembala, maka beliau meletakkan kedua jari telunjuknya di dalam telinganya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan, beliau berkata, "Hai Nafi', apakah kamu mendengar?" maka Nafi' berkata, "Ya" lalu berjalan terus sampai Nafi' berkata, "Tidak" maka Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan (lainnya) dan berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah SAW mendengar seruling penggembala maka Nabi berbuat demikian." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Abu Dawud mengatakan, "Ini hadits munkar")
Seandainya hadits ini shahih, maka akan menjadi hujjah yang mengalahkan orang-orang yang mengharamkan, bukan mendukung mereka. Karena seandainya mendengar seruling itu haram, maka Nabi SAW tidak memperbolehkan Ibnu Umar untuk mendengarkannya, dan kalau seandainya Ibnu Umar itu mengharamkan maka tidak akan diperbolehkan kepada Nafi' untuk mendengarkannya. Dan pasti Rasulullah SAW memerintahkan untuk melarang dan merubah kemunkaran itu. Pengikraran Nabi SAW kepada Ibnu Umar sebagai dalil bahwa itu halal.
Tetapi Rasulullah SAW menjauhi untuk mendengar seruling itu sebagaimana beliau menjauhi banyak sekali hal-hal yang diperbolehkan dari masalah dunia, seperti makan sambil bersandar atau beliau tidak suka kalau ada dinar dan dirham yang bermalam di sisinya.
Ketujuh, Mereka yang mengharamkan lagu juga berdalil dengan riwayat yang mengatakan, "Sesungguhnya nyanyian itu dapat menimbulkan kemunafikan dalam hati," tetapi ini bukan hadits dari Rasulullah SAW, melainkan perkataan sahabat atau tabi'in. Ini adalah suatu pendapat orang yang tidak ma'sum yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagian manusia ada juga yang mengatakan, terutama dari kalangan sufi, bahwa sesungguhnya nyanyian itu bisa melunakkan hati, dan dapat membangkitkan perasaan sedih, menyesal atas kemaksiatan serta dapat menjadi sarana untuk memperbarui jiwa dan semangat mereka dan membangkitkan kerinduan. Mereka mengatakan, "Ini tidak mungkin bisa diketahui kecuali dengan perasaan, pengalaman dan kebiasaan, karena itu barangsiapa merasakan maka dia mengetahui, informasi ini tidak bisa ditangkap dengan mata."
Meskipun demikian, Imam Al Ghazali menjadikan hukum kalimat ini bagi si penyanyi, bukan pendengar, karena tujuan penyanyi adalah menampilkan dirinya di hadapan orang lain dan mengkomersialkan suaranya, dan secara terus menerus ia berbuat kemunafikan dan berusaha menarik perhatian manusia agar mereka senang terhadap lagunya. Al Ghazali mengatakan, "Demikian itu tidak menjadikan haram, karena sesungguhnya memakai pakaian serta berbangga-banggaan dengan tanaman, binatang ternak, ladang dan yang lainnya itu juga bisa menimbulkan kemunafikan dalam hati, dan ini bukan berarti haram seluruhnya. Karena bukanlah penyebab munculnya kemunafikan dalam hati itu maksiat, tetapi sesungguhnya hal-hal yang mubah pun ketika menjadi perhatian manusia itulah yang banyak berpengaruh 23).
Kedelapan, Mereka juga berdalil atas haramnya nyanyian wanita dengan alasan bahwa suara wanita itu aurat, padahal ini tidak ada dalilnya, tidak pula ada yang mirip dengan dalil dari agama Allah bahwa suara wanita itu aurat. Karena sahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah SAW ketika Nabi sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan, "Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib ditutupi," padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya Allah SWT berfirman:
"Dan berkatalah kamu (wahai isteri-isteri Nabi) dengan kata-kata yang baik." (Al Ahzab: 32)
Mereka mengatakan, "Itu berkaitan dengan percakapan biasa, bukan dalam nyanyian." Kita katakan, diriwayatkan di dalam Shahihain, bahwa Nabi SAW pernah mendengar nyanyian dua wanita budak dan tidak mengingkari keduanya, dan Nabi bersabda kepada Abu Bakar, "Biarkan mereka berdua." Ibnu Ja'far dan lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in juga pernah mendengar budak-budak wanita menyanyi.
Kesembilan. Mereka juga berdalil dengan hadits Tirmidzi dari Ali, marfu' "Apabila ummatku melakukan lima belas perkara, maka akan mendapat cobaan .. (salah satunya adalah) mengambil biduanita dan alat-alat musik." Hadits ini disepakati atas kedha'ifannya, maka tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Kesimpulan bahwa nash-nash yang dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya lagu-lagu itu mungkin shahih, tetapi tidak sharih (jelas), atau sharih tetapi tidak shahih, dan tidak ada satu pun hadits yang marfu' (sampai) pada Rasulullah SAW yang pantas dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan. Dan seluruh hadits-hadits yang mereka pergunakan itu didhai'fkan oleh golongan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah.
Al Qadhi Abu Bakar Ibnu 'Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Ahkaam, tidak benar dalam pengharaman sedikit pun. Demikianlah juga dikatakan oleh Al Ghazali, dan Ibnu Nahwi di dalam kitab "Al 'Umdah."
Ibnu Thahir dalam kitabnya "As-Simaa' " mengatakan "Tidak benar satu huruf pun dari hadist-hadist itu.
Ibnu Hazm berkata, "Tidak benar sedikit pun dalam bab ini, dan setiap riwayat, tentang masalah itu maudhu' (palsu). Demi Allah, kalau seandainya seluruhnya atau salah satu dari riwayat itu disandarkan dari/melalui jalan orang-orang yang tsiqah kepada Rasulullah SAW pasti kita tidak akan ragu untuk mengambilnya."
22) Lihat kitab Al Ihya' 'Ulumuddin, bab. As-Samaa'. hal.1147
23) Lihat Al Ihya Kitabus-Samaa' hal. 1151.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Berlaku Zhalim Kepada Manusia Secara Etika, Seperti Ghibah dan Mencerca
Tadi kita berbicara tentang taubat dari pelanggaran atas hak-hak harta orang lain. Kemudian bagaimana kita bertaubat dari hak-hak maknawi dan etis mereka. Seperti melakukan penghinaan terhadapnya dengan ghibah, qadzaf (menuduh zina), mengecam, mencela, menghinanya atau tindakan lainnya. Apakah taubat dalam dosa seperti ini disyaratkan agar memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta maaf dan ampunan darinya?. Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia telah berbuat zalim kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara detail kezhalimannya itu?. Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk mencapai taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat kepada Allah SWT tanpa memberitahukan dan tanpa meminta maaf kepada orang yang ia tuduh dan ia kecam itu?
Dalam hal ini ada tiga pendapat:
Dari imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara taubat orang yang berghibah dan mencela
Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan orang yang ia zhalimi itu kadar haknya itu. Karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya. Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun penasaran klik selanjutnya ya!!!
BAGAIMANA HUKUM ISLAM MENGENAI LAGU DAN MUSIK?
Sebuah pertanyaan yang telah dilontarkan oleh banyak orang di berbagai kesempatan dan waktu yang berbeda-beda. Sebuah pertanyaan yang jawabannya banyak diperselisihkan oleh sebagian besar kaum Muslimin dan menimbulkan sikap yang berbeda-beda dari mereka akibat dari jawaban mereka yang berbeda-beda pula. Di antara mereka ada yang membuka kedua telinganya untuk mendengar segala macam lagu dan musik dengan alasan bahwa itu semua halal dan merupakan kenikmatan hidup yang diperbolehkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya.
Tetapi sebagian mereka ada yang mematikan radio atau menutup kedua telinganya ketika mendengar lagu apa pun dengan alasan bahwa sesungguhnya lagu itu seruling syetan dan lahan permainan yang dapat menghalang-halangi dari dzikrullah dan shalat. Terutama jika yang menyanyikan itu wanita, karena suara wanita itu sendiri menurut dia adalah aurat apalagi nyanyiannya. Dan mereka berdalil dengan ayat-ayat dan hadits-hadits serta beberapa pendapat ulama.
Di antara mereka ada yang menolak segala bentuk musik dari dua kelompok di atas, yaitu kadang-kadang ia sependapat dengan mereka dan kadang-kadang ikut pendapat yang lainnya. Kelompok ketiga ini selalu menunggu keputusan dan jawaban yang tuntas dari ulama Islam tentang masalah yang sangat penting ini. Yaitu yang berkaitan dengan perasaan manusia sehari-hari, terutama setelah masuknya siaran radio maupun televisi ke rumah-rumah mereka dengan segala macam lo pengen tau ya klik selanjutnyta!!!dan ragam acaranya yang serius maupun hiburan yang menarik telinga mereka untuk mendengarkan lagu-lagu dan musik yang disuguhkan, senang atau tidak.
Lagu, apakah disertai musik atau tidak, tetap menjadi permasalahan yang memancing perdebatan pendapat para ulama Islam sejak masa-masa pertama kali, sehingga mereka sepakat memperbolehkan dalam persyaratan tertentu dan mereka berselisih dalam kondisi lainnya.
Mereka sepakat untuk mengharamkan segala bentuk lagu yang mengandung perkataan yang kotor, pornografi, kefasikan atau mendorong seseorang untuk maksiat. Karena lagu tidak lain kecuali ucapan, maka yang baik menjadi baik dan yang buruk tetap saja buruk. Setiap ucapan yang mengandung keharaman menjadi haram. Maka bagaimana perasaanmu jika bergabung antara sajak, langgam dan perangsang?
Mereka juga bersepakat atas bolehnya lagu-lagu yang baik yang menyentuh fitrah serta bersih dari alat-alat musik dan perangsang, demikian itu pada saat-saat gembira seperti pesta perkawinan, kedatangan tamu dan pada saat hari-hari raya dan yang lainnya. Dengan syarat yang menyanyi bukan seorang wanita di hadapan laki-laki asing (yang bukan muhrimnya). Dan ini berdasarkan nash-nash yang sharih (jelas) yang akan kami jelaskan.
Ulama juga berselisih tentang selain yang tersebut di atas dengan perselisihan yang nyata. Sebagian mereka ada yang memperbolehkan segala bentuk nyanyian (lagu), baik dengan musik atau tidak, bahkan mereka menganggap itu mustahab (disukai). Dan ada sebagian mereka yang menolak lagu-lagu apabila menggunakan alat musik dan memperbolehkan apabila tidak memakai alat musik. Sebagian yang lain ada yang melarang secara mutlak, memakai alat musik ataupun tidak, dan menganggap itu perbuatan haram, bahkan sampai ke tingkatan dosa besar.
Karena pentingnya tema (masalah) ini maka kita harus menjelaskan secara rinci dan menyampaikan sekilas penjelasan tentang sisi-sisi yang diperselisihkan. Agar jelas bagi seorang Muslim antara yang halal dan yang haram dengan mengikuti dalil yang kuat dan terang, bukan asal ikut-ikutan, dengan demikian maka menjadi jelas dan benar dalam memahami agamanya.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?
Di antara pertanyaan yang timbul dalam topik ini adalah: "apakah istighfar bermanfaat bagi orang yang melakukannya, jika ia tetap menjalankan dosa, yang besar maupun kecil?
Para ahli suluk berbeda pendapat dalam masalah ini: Di antara mereka ada yang berpendapat: istighfar itu akan bermanfaat baginya secara mutlak, meskipun ia tidak mempunyai tekad untuk bertaubat. Di antara mereka ada juga yang berkata: istighfarnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali, hingga ia benar-benar bertaubat. Dan pihak yang lain memerinci ketentuan-ketentuan dan kondisi masing-masing.
Aku adalah termasuk dalam kelompok yang ketiga ini. Menurutku: istighfar yang hanya diucapkan dengan lidah saja bermanfaat bagi orang yang beristighfar itu, jika diiringi dengan kesungguhan, kekhusyu'an dalam berdo'a, memohon dengan sangat dan merasakan kebutuhan yang amat besar akan maghfirah Allah SWT di waktu berikutnya. Ia meminta kepada Allah SWT sebagai seorang hamba yang fakir, meminta kepada Tuannya yang Maha Kaya, dengan permintaan makhluk yang lemah kepada Sang Pencipta Yang Maha Perkasa, permohonan sosok yang kecil kepada Rabbnya yang Maha Besar, Yang rahmat-Nya mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya menyelimuti semua orang. Ketaatan manusia tidak membuat-Nya untung, dan maksiat mereka tidak wah penasaran ni!!! klik selanjutnya ok!mengurangi kekuasaan Allah SWT. Seorang hamba, jika ia beristighfar dengan semangat dan ruh seperti itu, maka istighfarnya tidak akan sia-sia. Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama: seperti telah diungkapkan dari al Qur'an dan hadits tentang keutamaan istighfar, ia ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara mutlak tanpa pembatas, sehingga mencakup orang yang masih tetap menjalankan kemaksiatan dan pelanggaran lainnya, maka mengapa kita kemudian membatasinya dengan batasan: "sambil tidak terus menjalankan maksiat?"
Kedua: istighfar --meskipun hanya dengan lidah-- adalah kebaikan yang dapat menghapus keburukan, apalagi jika disertai dengan permohonan yang sangat.
Imam Ghazali berkata: menurutku: istighfar dengan lidah juga merupakan suatu kebaikan. Karena gerakan lidah beristighfar lebih baik dari pada ia melakukan ghibah atau berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Ia juga lebih utama dari pada sekadar diam. Keutamaannya itu akan tampak jika dibandingkan dengan diam itu. Namun ia akan nampak kurang nilainya jika dibandingkan dengan amal hati. Oleh karena itu ada orang yang berkata kepada syeikhnya, Abi Utsman al Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk berdzikir dan membaca al Quran, namun hatiku lalai! Mendengar hal itu ia berkomentar: bersyukurlah kepada Allah SWT, karena Dia menggerakan salah satu anggota badanmu untuk melakukan kebaikan, teruskanlah lidahmu untuk berdzikir, jangan gunakan untuk keburukan , atau berkata yang tidak berguna! [Ihya Ulumuddin: 4.]
Ketiga: Allah SWT berjanji --dan janji Allah SWT adalah pasti-- bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal seorang, dan balasan bagi orang yang berbuat kebajikan. Seperti firman Allah SWT:
"Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik."[QS. al Kahfi: 30]
"Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS. Huud: 115]
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." [QS. az-Zilzalah: 7]
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS. an-Nisa: 40]
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain." [QS. Ali Imran: 195]
Dan istighfar --seperti telah kami katakan-- adalah amal, dan secara inheren ia adalah amal yang baik.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi dalam Asy-Sya'b dari Ibnu Abbas secara marfu': "orang yang beristighfar dari dosanya --sementara ia masih terus melakukan dosa tersebut-- adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if. Dan yang rajihnya ia adalah hadits mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadits nabi [Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadits Ibnu Abbas dan lafazhnya adalah:
"Orang yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak berdosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih terus melakukan dosa itu adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya." Ia berkata: yang rajih adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang beristifghfar) ...dan seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian pertama dari hadits itu adalah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabarani dari hadits Ibnu Mas'ud dan sanadnya adalah Hasan. (Fathul Bari: 13/ 471)]
Meskipun seandainya kita terima keberadaan hadit itu, maka ia dapat dipahami sebagai ucapan istighfar yang dilafalkan sebagai suatu kebiasaan saja, sambil memikirkan yang lain, serta tidak memahami maknanya, dan tidak pula dengan merajuk dan menangis.
Seperti itu pula perkataan sebagian orang yang mengatakan: istighfar tanpa meninggalkan diri dari dosa adalah taubat orang-orang pembohong! Dan perkataan yang lain: aku ber istighfar kepada Allah SWT dari istighfarku! Ini dapat dipahami bahwa istighfarnya itu semata dengan ucapan lidahnya saja, tanpa diiringi dengan gerakan hati yang merupakan rekan dalam amal itu.
Sedangkan perkataan Rabi'ah al Adawiah: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi yang banyak! Jangan disangka bahwa ia mencela gerakan lidah yang sedang berdzikir kepada Allah SWT. Namun ia mencela hati yang lalai. Dan kelalaian hati seperti itu butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu sendiri, bukan dari gerakan lidahnya. Dengan demikian, orang yang berdiam saja, tidak ber istighfar dengan lidahnya, dengan demikian membutuhkan dua macam istighfar, bukan hanya satu istighfar!
Seperti inilah seharusnya dipahami pujian orang yang memuji dan celaan orang yang mencela. Jika tidak maka ia berarti tidak memahami perkataan ini: "kebaikan orang-orang biasa adalah keburukan kaum muqarrabin! Karena ini adalah masalah yang nisbi, sehingga tidak dapat dipahami secara sederhana. Oleh karenanya tidak selayaknya kita menganggap ringan ketaatan dan perbuatan buruk yang amat kecil sekalipun.
Imam Ja'far ash-Shadiq berkata: Allah SWT menyembunyikan tiga hal dari tiga hal.
1. Menyembunyikan ridha-Nya dalam ketaatan kepada-Nya, oleh karena itu janganlah engkau cela ketaatan itu sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak ridha Allah SWT.
2. Menyembunyikan kemarahan-Nya dari kemaksiatan terhadap-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap ringan suatu kemaksiatan sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak kemarahan-Nya. Dan
3. Dia menyembunyikan wali-Nya dari sekalian hamba-hamba-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap rendah seorang hamba Allah SWT , karena barangkali dia adalah wali Allah.
Sahl bin Abdullah (at Tustary) berkata: seorang hamba dalam segala keadaan pasti membutuhkan Tuhannya, oleh karena itu ia harus memperbaiki keadaannya, yaitu dengan selalu mengembalikan kepada-Nya segala sesuatu yang diputuskan dan ditentukan untuknya. Maka jika ia bermaksiat kepada Allah SWT, hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku tutupilah keburukanku itu". Dan jika ia telah membebaskan diri dari maksiat, maka hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku ampunilah dosaku!" Dan jika ia telah melakukan taubat hendaknlah ia berkata: "wahai Rabbku, berikanlah aku halangan dari melakukan kemaksiatan!" Dan jika ia telah mengerjakan ketaatan hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku terimalah amal baik saya ini!"
Al Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: janganlah engkau menghina ketaatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya, dan kemaksiatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya. Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata: apa manfaatnya satu benang itu? dan kapan akan dapat menghasilkan satu baju? Ia tidak menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu-benang dengan benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini di susun dari atom-atom kecil, maka berdo'a dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT! [Dari Ihya Ulumuddin, Kitab Taubat, dikutip dengan ringkas.]
Disebutkan dalam kitab al Adzkaar dari Rabi' bin Khaitsam ia berkata: jangan engkau katakan: aku beristighfar kepada Allah SWT dan aku bertaubat kepadaNya". Karena itu dapat menjadi dosa jika ia tidak benar-benar menjalankannya. Namun katakanlah: "wahai Rabbku ampunilah daku dan berilah hamba taubat". An nawawi berkata: ini baik. Sedangkan ia tidak senang mengatakan "aku ber istighfar kepada Allah SWT " dan ia menamakannya sebagai kebohongan, an Nawawi tidak setuju dengan itu. Karena makna "astaghfirullah" adalah aku memohon ampunan-Nya, dan itu bukanlah kebohongan. Ia berkata: untuk menolak pendapat itu cukup dengan hadits Ibnu Mas'ud dengan lafazh:
"Barangsiapa yang mengucapkan: Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan selalu mengatur (makhluk-Nya) dan aku bertaubat kepadanya: niscaya diampunkan segenap dosa-dosanya meskipun ia pernah melarikan diri dari medan perang". Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmizi serta disahihkan oleh Hakim. Al Hafizh ibnu Hajar berkata: ini adalah dalam lafazh "Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan Maha mengatur (sekalian makhluk-Nya) sedangkan kata "aku bertaubat kepadanya " inilah yang dimaksudkan oleh Rabi' bahwa itu adalah kebohongan. Dan demkkian juga jika ia mengucapkan taubat namun ia tidak menjalankan taubat itu".
Dalam berdalil dengan menggunakan hadits Ibnu Mas'ud itu patut diteliti kembali, karena dapat saja yang dimaksudkan adalah: jika ia mengatakan taubat dan mengerjakan syarat-syarat taubat itu. Dan dapat pula Rabi' ingin menggabungkan dua lafazh, tidak sekadar kata "astaghfirullah" sehingga seluruh perkataannya adalah benar. Wallahu a'lam.
Al Hafizh berkata: aku membaca dalam al Halabiat karya Taqiyyuddin as-Subki sebagai berikut: istighfar adalah meminta ampunan, baik dengan lidah, atau dengan hati atau juga dengan keduanya. Dengan yang pertama itu akan mendatangkan manfaat karena itu lebih baik dari sekadar diam, dan ia dapat dimasukkan sebagai perkataan yang baik. Yang kedua amat baik sekali, dan yang ketiga lebih baik lagi. Namun keduanya itu tidak menghapus dosa hingga terdapat taubat yang sebenarnya. Karena orang yang berbuat maksiat dan tidak juga meninggalkannya itu meminta diampuni, dan itu tidak harus ada taubat dalam dirinya. Hingga ia berkata: yang aku katakan bahwa makna istighfar adalah berlainan dengan makna taubat, adalah jika ditinjau berdasarkan redaksional. Namun menurut banyak ulama, lafazh "astaghfirullah" itu maknanya adalah taubat. Jika ada orang yang seperti itu keyakinannya, maka ia berarti menginginkan taubat. Kemudian ia berkata: dan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa taubat tidak sempurna kecuali dengan istighfar, dengan dalil firman Allah SWT:
"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya,"
sedangkan menurut pendapat yang masyhur, hal itu tidak disyaratkan. [Fathul Bari: 13/ 472]
Judul Asli: at Taubat Ila Allah
Pengarang: Dr. Yusuf al Qardhawi