TIDAK BISA MENERAPKAN ISLAM DENGAN BENAR KECUALI ORANG YANG MENGIMANINYA
Sesungguhnya syari'at Islam tidak mungkin diterapkan dengan penerapan yang sebenarnya kecuali oleh orang-orang yang beriman (percaya) terhadap kesuciannya, Rabbaniyah sumbernya, keadilan hukumnya, ketinggian tujuannya, dan orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepada-Nya. Inilah yang membuat mereka bersemangat untuk memahaminya dengan pemahaman yang detail, memahami hukum-hukumnya dan tujuannya secara mendalam. Kemudian mereka berlomba untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ada di hadapannya, sebagaimana mereka senang untuk menjadi contoh yang baik terhadap pelaksanaan prinsip-prinsipnya dan teladan yang baik bagi orang-orang yang belum puas terhadapnya, sehingga orang lain bisa melihat mereka dalam keimanan, akhlaq dan perilakunya. Dengan begitu orang-orang yang melihat mereka akan mencintai wah pengen ya? klik selanjutnya!!!Sesungguhnya syari'at Islam tidak mungkin diterapkan dengan penerapan yang sebenarnya kecuali oleh orang-orang yang beriman (percaya) terhadap kesuciannya, Rabbaniyah sumbernya, keadilan hukumnya, ketinggian tujuannya, dan orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepada-Nya. Inilah yang membuat mereka bersemangat untuk memahaminya dengan pemahaman yang detail, memahami hukum-hukumnya dan tujuannya secara mendalam. Kemudian mereka berlomba untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ada di hadapannya, sebagaimana mereka senang untuk menjadi contoh yang baik terhadap pelaksanaan prinsip-prinsipnya dan teladan yang baik bagi orang-orang yang belum puas terhadapnya, sehingga orang lain bisa melihat mereka dalam keimanan, akhlaq dan perilakunya. Dengan begitu orang-orang yang melihat mereka akan mencintai Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Senin, 31 Mei 2010
UNGKAPAN TENTANG KEINDAHAN
Jika Islam telah mengajak untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya, maka Islam juga menekankan agar kita mengungkapkan perasaan dan kecintaan itu yang juga merupakan suatu keindahan tersendiri.
BERBAGAI SENI UCAPAN DAN SASTRA
Yang paling menonjol di bidang seni sastra adalah syair, prosa, kisah dan lainnya dari seluruh jenis seni sastra, karena Rasulullah SAW sendiri pernah mendengar syair dan menaruh perhatian padanya. Di antaranya adalah qasidah Ka'ab bin Zuhair yang terkenal dengan judul "Baanat Su'aadu," yang di dalamnya terdapat "GhazaI." Dan qasidahnya Nabighah Al Ja'di. Beliau berdoa untuknya dan mempergunakan syair tersebut untuk berkhidmah pada dakwah dan membelanya. Sebagaimana beliau juga pernah mempergunakan sebuah syair sebagai dalil, dalam sabdanya, "Perkataan yang paling benar diucapkan oleh penyair adalah perkataan Lubaid":
"lngatlah !, bahwa segala sesuatu selain Allah itu bathil." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Para sahabat Rasulullah SAW juga berdalil dengan mempergunakan syair, dan dengan syair pula mereka juga menafsirkan makna Al Qur'an. Bahkan di antara mereka ada yang pakar di bidang syair ini. Sebagaimana diceritakan dari Ali ra, bahwa ada sejumlah imam sahabat yang pakar di bidang syair.
Sebagian besar para imam adalah penyair, seperti wah pengen ya? klik selanjutnya!!!Abdullah bin Mubarak, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i dan yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya di antara sebagian bayan adalah sangat menarik." (HR. Malik, Ahmad dan Bukhari)
"Sesungguhnya di antara bayan itu menarik, dan sesungguhnnya di antara syair adalah bernilai hikmah." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwa sesungguhnya di sana ada sebagian syair yang tidak termasuk hikmah, bahkan berlawanan dengan hikmah. Seperti syair orang yang memuji kebathilan dan kebanggaan yang palsu, sindiran yang memusuhi dan ghazal (bermesraan) yang vulgar dan yang lainnya dari syair-syair yang tidak sesuai dengan norma-norma akhlaq dan nilai-nilai kemuliaan.
Karena itu Al Qur'an mencela para penyair yang tidak bermoral yang sama sekali tidak mengenal akhlaq. Hal itu dijelaskan dalam firman Allah SWT
"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya ? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak meryebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman. Dan orang-orang yang zhalim itu keluar akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." (Asy Syu'ara': 224-227)
Sya'ir dan sastra secara umum atau lebih umum lagi seni, mempunyai tujuan dan fungsi, yang keberadaannya tidak sia-sia. Yakni sya'ir dan sastra serta seni yang mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran.
Adapun perubahan-perubahan yang muncul dalam dunia syair dan sastra pada umumnya, maka tidak mengapa terjadi percobaan dan perkembangan dan saling mengambil dari selain kita selama itu masih sesuai dengan keyakinan yang kita pegang. Yang penting adalah tujuannya, dan isi serta fungsinya.
Bangsa Arab dahulu ahli dalam menciptakan syair-syair seperti "Al Muwasy-syahaat" dan jenis lainnya. Oleh karena itu tidak mengapa kita menerima adanya perubahan-perubahan baru di bidang syair (puisi) modern.
Demikian juga bangsa Arab dahulu pada masa-masa keislaman telah membuat berbagai bentuk karya sastra seperti "Maqamaut" dan kisah-kisah fiksi seperti "Risaalatul Ghufran" dan "Seribu Satu Malam." Mereka juga menerjemahkan karya orang lain seperti "Kalilah dan Daminah" dan dari kalangan Mutaakhiruun telah mengarang Malaahim Sya'ibiyah, seperti kisah "Antarah" dan sirah Bani Hilal dan yang lainnya.
Pada masa kita sekarang ini kita bisa memperbarui kembali syair-syair itu dan kita ambil dari selain kita selama itu bermanfaat untuk kita, seperti sandiwara, cerita dan kisah atau cerpen.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah pentingnya kita berpegang teguh pada bahasa Arab fushah (yang fasih) dan berhati-hati dari berbagai upaya jahat yang menghibur kita dengan berbagai dialek bahasa pasaran yang beraneka ragam pada bangsa Arab. Karena itu bertujuan untuk dapat menjauhkan ummat Islam dari Al Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana juga dapat memecah belah dan mengkotak-kotakan secara teritorial yang itu sangat diinginkan oleh kekuatan-kekuatan yang bermusuhan dengan Arab dan Islam.
Bahasa fushah adalah bahasa yang mudah difahami oleh khalayak umum, bahasa mass media, koran, radio, televisi dan bahasa sehari-hari.
Sebagaimana juga, bahasa fushah adalah bahasa yang mendekatkan antara orang-orang Arab dengan ummat Islam yang lainnya, yang sedang belajar bahasa Arab. Karena mereka tidak mempelajari bahasa Arab kecuali yang fasih, dan tidak bisa memahami kecuali dengan bahasa fasih.
Telah disampaikan kepada saya dalam berbagai kesempatan beberapa pertanyaan seputar masalah seni Islam seperti sandiwara dan kisah, di mana seorang penyusun skenario itu menampilkan berbagai aktor atau adegan yang bukan sebenarnya, apakah ini termasuk bohong yang diharamkan menurut syari'at?
Jawaban saya adalah, "Sesungguhnya itu tidak termasuk bohong yang dilarang, karena para pendengar mengenal dengan baik dan tahu betul bahwa maksudnya bukan memberitahu para pembaca, pendengar atau pemirsa kalau peristiwa itu benar-benar terjadi. Itu semua mirip dengan kata-kata atau suara yang ada pada burung dan hewan. Dia merupakan bentuk seni dan seakan pengucapan binatang yang diperankan oleh manusia. Sebagaimana Al Qur'an menceritakan bicaranya semut atau burung Hud-hud di hadapan Sulaiman AS, tentu keduanya tidak berbicara dengan bahasa Arab fasih seperti Al Qur'an, akan tetapi Al Qur'an menerjemahkan apa yang diucapkan oleh keduanya pada saat itu."
Saya juga pernah ikut serta dalam menyusun sandiwara dua kali. Pertama, sandiwara yang memerankan Nabi Yusuf AS, yaitu ketika awal aktivitas saya di bidang seni pada saat masih kelas satu SMA. Saat itu saya terpengaruh dengan sandiwaranya "Syauqi" yang populer. Kedua, sandiwara bersejarah tentang Sa'id bin Jubair dan Hajjaj bin Yusuf yang saya beri judul "Alim dan Thaghut," dan pernah saya perankan di banyak negara dan mendapat sambutan baik. Berbeda dengan yang pertama, karena yang pertama itu berkaitan dengan Nabi yang diutus, dan kesepakatan ulama' saat ini menegaskan bahwa Nabi itu tidak boleh diperankan (dengan orang).
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
DALIL-DALIL ORANG YANG MENGHARAMKAN LAGU (NYANYIAN) DAN BANTAHAN DARI ULAMA LAINNYA
Pertama. Mereka mengharamkan lagu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud dan Ibnu Abbas serta sebagian Tabi'in, bahwa mereka mengharamkan nyanyian berdasarkan firman Allah SWT, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan. (Luqman: 6)
Mereka menafsirkan "Lahwal Hadits" (perkataan yang tidak berguna) di sini dengan nyanyian (lagu).
Ibnu Hazm mengatakan, "Tak ada alasan untuk mempergunakan ayat tersebut sebagai dalil atas haramnya lagu-lagu karena beberapa alasan:
1. Sesungguhnya tidak ada alasan (yang paling kuat) bagi siapa pun selain dari Rasulullah SAW.
2. Pendapat di atas bertentangan dengan pendapat para sahabat yang lainnya dan para tabi'in.
3. Sesungguhnya keterangan ayat itu sendiri membatalkan hujjah mereka, karena di dalam ayat tersebut terdapat sifat orang berbuat demikian maka kafir tanpa khilaf, yakni apabila menjadikan jalan Allah sebagai pelecehan. Ibnu Hazm mengatakan, "Seandainya ada seseorang yang mempergunakan mushaf untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah dan menjadikannya sebagai ejekan, wah seru? klik selanjutnya!!!maka ia kafir, maka inilah yang dicela oleh Allah SWT dan Allah sama sekali tidak mencela orang mempergunakan perkataan yang main-main untuk permainan dan menghibur diri, bukan untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah. Maka batallah hujjah mereka. Demikian juga sebaliknya, orang yang keasyikan membaca Al Qur'an dan hadits atau ngobrol atau kesibukan dengan lagu-lagu dan lainnya sehingga melalaikan shalat, maka dia fasik, dan bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Dan barangsiapa yang tidak menyia-nyiakan sedikit pun dari kewajiban-kewajiban itu karena melakukan apa-apa yang telah kami sebutkan, maka ia seorang yang muhsin (berbuat kebajikan)" (Al Muhalla: 9/60 cet. Al Munirah)
Dalil yang kedua dari orang-orang mengharamkan nyanyian adalah firman Allah SWT dalam memuji orang-orang yang beriman. Allah berfirman:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling dari padanya." (Al Qashash: 55)
Dan nyanyian termasuk "Al laghwu" (perkataan yang tidak berguna), maka wajib bagi kita untuk menghindarinya. Pendapat ini dijawab, bahwa secara zhahir dari ayat ini "Al laghwu" adalah perkataan kotor seperti mencaci maki, perkataan yang menyakitkan dan sebagainya. Karena kesempurnaan ayat membuktikan hal itu.
"Dan mereka berkata, "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal-mu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." (Al Qashash: 55)
Ini mirip dengan firman Allah SWT yang menjelaskan sifat-sifat 'Ibadur Rahman:
"Dan apabila orang-orang jahil itu mengejek mereka, mereka (balas) mengatakan dengan ucapan selamat ." (Al Furqan: 63)
Kalau kita pasrah bahwa sesungguhnya Al laghwu dalam ayat tersebut meliputi nyanyian, pasti kita mendapatkan ayat itu mendorong kita untuk berpaling dari mendengarkan dan memujinya, padahal tidak demikian.
Kata "Al Laghwu" seperti kata "Al Baathil" yang berarti tidak berguna. Dan mendengarkan apa-apa yang tidak berguna itu tidak haram selama tidak menelantarkan hak atau melalaikan yang wajib.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa ia memberi keringanan dalam masalah mendengarkan lagu, maka ia ditanya, "Apakah hal itu kelak di hari kiamat akan dimasukkan sebagai kebaikanmu atau keburukanmu?" Beliau menjawab, "Tidak termasuk hasanaat dan tidak termasuk sayyiaat, karena itu mirip dengan Al laghwu." Allah SWT berfirman:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang main-main (yang tidak dimaksud untuk bersumpah)." (Al Baqarah: 225)
Imam Al Ghazali mengatakan, "Apabila menyebut Asma Allah Ta'ala atas sesuatu dengan cara bersumpah, dengan tanpa aqad dan tidak bersungguh-sungguh saja tidak dikenakan sanksi, apa lagi dengan syair dan lagu-lagu.22)
Selain itu kita katakan bahwa tidak semua nyanyian itu termasuk "Al laghwu." Sesungguhnya itu tergantung pada niat orangnya, karena niat yang baik itu bisa merubah suatu permainan menjadi suatu ibadah, dan bergurau menjadi suatu ketaatan sementara niat yang kotor itu bisa menghapus amal kita yang zhahirnya beribadah sementara bathinnya riya, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu ." (HR. Muslim)
Di sini kita bisa mengutip kata-kata Ibnu Hazm yang baik di dalam kitabnya "Al Muhalla" sebagai sanggahan terhadap orang-orang yang melarang lagu-lagu. Beliau mengatakan, "Mereka yang mengharamkan menyanyi itu berhujjah dan mengatakan, 'Apakah menyanyi itu barang yang haq atau tidak', tidak perlu pendapat yang ketiga, yang jelas Allah SWT sendiri mengatakan,
"Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan" (Yunus: 32)
Maka jawaban kita, Wabillahit Taufiq, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya diterimanya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap (amal) seseorang tergantung pada niatnya ..." (H. Muttafaqun 'Alaih). Maka barang siapa yang mendengarkan lagu-lagu untuk membantu dia bermaksiat kepada Allah, maka dia fasiq. Demikian juga terjadi pada selain lagu-lagu. Tetapi barangsiapa yang dengan lagu itu dia berniat untuk menghibur dirinya dan untuk memperkuat taatnya kepada Allah dan dengan lagu-lagu itu ia bersemangat untuk berbuat kebajikan maka ia termasuk berbuat ketaatan dan kebaikan, dan perbuatannya termasuk barang haq. Dan barang siapa tidak berniat taat atau maksiat maka itu termasuk laghwun yang dimaafkan, seperti orang yang keluar ke kebunnya dan duduk di pintu rumahnya untuk bersenang hati dan mewarnai bajunya dengan warna keemasan atau hijau atau yang lainnya serta memanjangkan betisnya atau menekuknya serta seluruh aktifitasnya." (Al Muhalla: 9/60)
Ketiga. Dalil yang ketiga adalah hadits Rasulullah SAW:
"Setiap permainan yang dilakukan oleh seorang mukmin maka itu suatu kebathilan, kecuali tiga permainan: pemainan suami dengan isterinya, pelatihannya terhadap kudanya, dan melemparkan anak panah dari busurnya" (HR. Ashabus Sunan - Muththarib)
Sementara lagu-lagu adalah termasuk selain tiga permainan yang disebutkan dalam hadits ini.
Orang-Orang yang memperbolehkan menyanyi mengatakan bahwa hadits tersebut dha'if, seandainya shahih pasti menjadi hujjah, bahwa ungkapan Nabi "Itu adalah bathil" itu tidak menunjukkan pengharaman, tetapi menunjukkan tidak berguna. Abu Darda' pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku akan melakukan untuk diriku sedikit dari yang bathil agar diriku kuat untuk melakukan yang haq (kebenaran)." Karena sesungguhnya pembatasan tiga hal dalam hadits tersebut tidak dimaksudkan untuk pembatasan mutlak. Buktinya pernah terjadi orang-orang Habasyah bermain pedang di Masjid Nabawi, itu juga di luar dari tiga hal tersebut, dan ini ditetapkan dalam hadits shahih.
Tidak diragukan lagi bahwa bersenang-senang di kebun dan mendengar suara-suara burung serta berbagai permainan yang dilakukan oleh seseorang itu sama sekali tidak diharamkan, meskipun boleh kita katakan itu bathil (tanpa guna) secara langsung.
Keempat. Mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Mu 'allaq), dari Abi Malik atau 'Amir Al Asy'ari, satu keraguan dari perawi, dari Nabi SAW ia bersabda:
"Benar-benar akan ada suatu kaum dari ummatku yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras) dan alat-alat musik." (HR. Bukhari - Mu'allaq)
Hadist tersebut meskipun ada di dalam shahih Bukhari, tetapi ia termasuk "Mu'allaq," bukan termasuk hadits yang sanadnya muttashil (bersambung). Oleh karena itu Ibnu Hazm menolak karena sanadnya terputus, selain hadits ini mu 'allaq, para ulama mengatakan bahwa sanad dan matanya tidak selamat dari kegoncangan (idhtiraab).
Al Hafidz Ibnu Hajar berusaha untuk menyambung hadits ini, dan beliau berhasil untuk menyambung dari sembilan sanad, tetapi semuanya berkisar pada satu perawi yang dibicarakan oleh sejumlah ulama' ahli. Satu perawi itu adalah "Hisyam Ibnu 'Ammar," perawi ini meskipun sebagai Khatib Damascus dan muqri'nya serta muhaddits dan alimnya, bahkan Ibnu Ma'in dan Al 'Ajli men-tautsiq. Tetapi Abu Dawud mengatakan, "Dia meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada sandarannya (yang benar dari Rasul)."
Abu Hatim juga berkata, "Ia shaduq (sangat jujur), tetapi telah berubah (hafalannya), sehingga Ibnu Sayyar pun mengatakan seperti itu."
Imam Ahmad mengatakan, "Ia thayyasy dan khafif (hafalannya berkurang).' Imam Nasa'i mengatakan, "Tidak mengapa (ini bukan pentautsiq-an secara mutlak)."
Meskipun Imam Adz-Dzahabi membelanya, dengan mengatakan, Shadaq dan banyak meriwayatkan, namun ada kemunkarannya.
Para ulama juga mengingkari karena ia tidak meriwayatkan hadits kecuali memakai upah.
Orang seperti ini tidak bisa diterima haditsnya pada saat-saat terjadi perselisihan pendapat, terutama dalam masalah yang pada umumnya sudah menjadi fitnah.
Meskipun dalil tersebut, katakanlah, ada, tetapi kata-kata "Al Ma'aazil" itu belum ada kesepakatan maknanya secara pasti, apa sebenarnya. Sehingga ada yang mengatakan "permainan-permainan," ini sangat global. Ada juga yang mengatakan alat-alat musik.
Kalau seandainya kita katakan bahwa yang dimaksud adalah alat-alat musik, maka redaksi hadits yang mu'allaq di dalam Bukhari itu tidak sharih (tidak jelas) di dalam mengartikan haramnya "Al Ma'azif." Karena ungkapan "Yastahilluna" (menghalalkan) menurut Ibnu 'Arabi mempunyai dua makna, pertama meyakini bahwa itu halal, dan yang kedua, suatu majaz (ungkapan tidak langsung) tentang memperlonggar dalam mempergunakan itu semua, karena seandainya itu adalah arti yang sebenarnya maka itu kufur, karena menghalalkan yang haram secara pasti seperti minuman keras, zina itu kufur secara ijma'.
Seandainya kita sepakat atas haramnya itu semua, maka apakah itu berarti pengharaman terhadap seluruh apa yang disebutkan di dalam hadits itu, atau masing-masing ada hukumnya sendiri-sendiri? Maka yang pertama itulah yang rajih, karena pada kenyataannya hadits ini menjelaskan perilaku sekelompok manusia yang tenggelam dalam kemewahan, malam-malam merah dan minuman keras . Mereka yang hidup di antara khamr dan wanita, permainan dan lagu-lagu, zina dan sutera. Karena itulah Ibnu Majah meriwayatkan hadits ini dari Abi Malik Al Asy'ari dengan kata-kata sebagai berikut:
"Sungguh akan ada manusia dari ummatku yang meminum khamr, mereka menamakannya bukan dengan namanya, kepala mereka dipenuhi dengan alat-alat musik dan biduanita (lagu-lagu dan artis). Sungguh Allah akan memasukkan mereka ke dalam tanah dan akan mengganti rupa mereka dengan kera dan babi." (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Bukhari dalam Tarikhnya)
Seluruh perawi yang meriwayatkan hadits dari selain Hisyam bin Ammar telah menjadikan ancaman itu pada orang yang meminum minuman keras, dan bukanlah pada ma'azif (alat-alat musik) itu sebagai penyempurna dan yang mengikuti bagi mereka.
Kelima. Mereka juga berdalil dengan hadits dari 'Aisyah RA
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan biduanita (artis), menjual belikannya, menghargainya, dan mengajarinya."
Sebagai jawabannya sebagai berikut:
1. Hadits ini dha'if, dan seluruh hadits yang mengharamkan jual beli artis penyanyi adalah dha'if. (Ibnu Hazm dalam Al Muhalla: 9/59-62)
2. Imam Al Ghazali mengatakan, "Yang dimaksud penyanyi di sini adalah penyanyi wanita yang bernyanyi di hadapan pria dalam majelis khamr, dan menyanyinya para wanita di hadapan laki-laki fasik dan orang yang dikhawatirkan ada fitnah itu haram, mereka tidak bermaksud dengan fitnah itu kecuali dilarang. Adapun menyanyinya budak wanita di hadapan pemiliknya itu tidak difahami haram dari hadits ini. Bahkan kepada selain pemiliknya pun ketika tidak ada fitnah, dengan dalil hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain yaitu nyanyian dua budak wanita di rumah 'Aisyah RA, yang akan kami jelaskan nanti. (Al Ihya':1 148)
3. Para penyanyi dari budak wanita itu memiliki unsur penting dalam aturan perbudakan, di mana Islam datang untuk memberantasnya secara bertahap. Dan Islam tidak sependapat, hikmah ini menetapkan adanya kelas tertentu pada masyarakat Islam. Maka apabila ada hadits yang melarang memiliki budak penyanyi dan memperjual belikan, itu berarti dalam rangka merobohkan sistem perbudakan yang kokoh.
Keenam. Mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Nafi', bahwa sesungguhnya Ibnu Umar itu pernah mendengar suara seruling penggembala, maka beliau meletakkan kedua jari telunjuknya di dalam telinganya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan, beliau berkata, "Hai Nafi', apakah kamu mendengar?" maka Nafi' berkata, "Ya" lalu berjalan terus sampai Nafi' berkata, "Tidak" maka Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan (lainnya) dan berkata, "Aku pernah melihat Rasulullah SAW mendengar seruling penggembala maka Nabi berbuat demikian." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Abu Dawud mengatakan, "Ini hadits munkar")
Seandainya hadits ini shahih, maka akan menjadi hujjah yang mengalahkan orang-orang yang mengharamkan, bukan mendukung mereka. Karena seandainya mendengar seruling itu haram, maka Nabi SAW tidak memperbolehkan Ibnu Umar untuk mendengarkannya, dan kalau seandainya Ibnu Umar itu mengharamkan maka tidak akan diperbolehkan kepada Nafi' untuk mendengarkannya. Dan pasti Rasulullah SAW memerintahkan untuk melarang dan merubah kemunkaran itu. Pengikraran Nabi SAW kepada Ibnu Umar sebagai dalil bahwa itu halal.
Tetapi Rasulullah SAW menjauhi untuk mendengar seruling itu sebagaimana beliau menjauhi banyak sekali hal-hal yang diperbolehkan dari masalah dunia, seperti makan sambil bersandar atau beliau tidak suka kalau ada dinar dan dirham yang bermalam di sisinya.
Ketujuh, Mereka yang mengharamkan lagu juga berdalil dengan riwayat yang mengatakan, "Sesungguhnya nyanyian itu dapat menimbulkan kemunafikan dalam hati," tetapi ini bukan hadits dari Rasulullah SAW, melainkan perkataan sahabat atau tabi'in. Ini adalah suatu pendapat orang yang tidak ma'sum yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagian manusia ada juga yang mengatakan, terutama dari kalangan sufi, bahwa sesungguhnya nyanyian itu bisa melunakkan hati, dan dapat membangkitkan perasaan sedih, menyesal atas kemaksiatan serta dapat menjadi sarana untuk memperbarui jiwa dan semangat mereka dan membangkitkan kerinduan. Mereka mengatakan, "Ini tidak mungkin bisa diketahui kecuali dengan perasaan, pengalaman dan kebiasaan, karena itu barangsiapa merasakan maka dia mengetahui, informasi ini tidak bisa ditangkap dengan mata."
Meskipun demikian, Imam Al Ghazali menjadikan hukum kalimat ini bagi si penyanyi, bukan pendengar, karena tujuan penyanyi adalah menampilkan dirinya di hadapan orang lain dan mengkomersialkan suaranya, dan secara terus menerus ia berbuat kemunafikan dan berusaha menarik perhatian manusia agar mereka senang terhadap lagunya. Al Ghazali mengatakan, "Demikian itu tidak menjadikan haram, karena sesungguhnya memakai pakaian serta berbangga-banggaan dengan tanaman, binatang ternak, ladang dan yang lainnya itu juga bisa menimbulkan kemunafikan dalam hati, dan ini bukan berarti haram seluruhnya. Karena bukanlah penyebab munculnya kemunafikan dalam hati itu maksiat, tetapi sesungguhnya hal-hal yang mubah pun ketika menjadi perhatian manusia itulah yang banyak berpengaruh 23).
Kedelapan, Mereka juga berdalil atas haramnya nyanyian wanita dengan alasan bahwa suara wanita itu aurat, padahal ini tidak ada dalilnya, tidak pula ada yang mirip dengan dalil dari agama Allah bahwa suara wanita itu aurat. Karena sahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah SAW ketika Nabi sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan, "Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib ditutupi," padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya Allah SWT berfirman:
"Dan berkatalah kamu (wahai isteri-isteri Nabi) dengan kata-kata yang baik." (Al Ahzab: 32)
Mereka mengatakan, "Itu berkaitan dengan percakapan biasa, bukan dalam nyanyian." Kita katakan, diriwayatkan di dalam Shahihain, bahwa Nabi SAW pernah mendengar nyanyian dua wanita budak dan tidak mengingkari keduanya, dan Nabi bersabda kepada Abu Bakar, "Biarkan mereka berdua." Ibnu Ja'far dan lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in juga pernah mendengar budak-budak wanita menyanyi.
Kesembilan. Mereka juga berdalil dengan hadits Tirmidzi dari Ali, marfu' "Apabila ummatku melakukan lima belas perkara, maka akan mendapat cobaan .. (salah satunya adalah) mengambil biduanita dan alat-alat musik." Hadits ini disepakati atas kedha'ifannya, maka tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Kesimpulan bahwa nash-nash yang dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan haramnya lagu-lagu itu mungkin shahih, tetapi tidak sharih (jelas), atau sharih tetapi tidak shahih, dan tidak ada satu pun hadits yang marfu' (sampai) pada Rasulullah SAW yang pantas dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan. Dan seluruh hadits-hadits yang mereka pergunakan itu didhai'fkan oleh golongan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah.
Al Qadhi Abu Bakar Ibnu 'Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al Ahkaam, tidak benar dalam pengharaman sedikit pun. Demikianlah juga dikatakan oleh Al Ghazali, dan Ibnu Nahwi di dalam kitab "Al 'Umdah."
Ibnu Thahir dalam kitabnya "As-Simaa' " mengatakan "Tidak benar satu huruf pun dari hadist-hadist itu.
Ibnu Hazm berkata, "Tidak benar sedikit pun dalam bab ini, dan setiap riwayat, tentang masalah itu maudhu' (palsu). Demi Allah, kalau seandainya seluruhnya atau salah satu dari riwayat itu disandarkan dari/melalui jalan orang-orang yang tsiqah kepada Rasulullah SAW pasti kita tidak akan ragu untuk mengambilnya."
22) Lihat kitab Al Ihya' 'Ulumuddin, bab. As-Samaa'. hal.1147
23) Lihat Al Ihya Kitabus-Samaa' hal. 1151.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Berlaku Zhalim Kepada Manusia Secara Etika, Seperti Ghibah dan Mencerca
Tadi kita berbicara tentang taubat dari pelanggaran atas hak-hak harta orang lain. Kemudian bagaimana kita bertaubat dari hak-hak maknawi dan etis mereka. Seperti melakukan penghinaan terhadapnya dengan ghibah, qadzaf (menuduh zina), mengecam, mencela, menghinanya atau tindakan lainnya. Apakah taubat dalam dosa seperti ini disyaratkan agar memberitahukan orang yang ia zalimi itu, atau ia meminta maaf dan ampunan darinya?. Ataukah juga ia memberitahukannya bahwa ia telah berbuat zalim kepadanya, namun tidak disyaratkan menyebutkan secara detail kezhalimannya itu?. Ataukah kedua hal tadi tidak disyaratkan untuk mencapai taubat dalam dosa seperti ini, namun cukup ia bertaubat kepada Allah SWT tanpa memberitahukan dan tanpa meminta maaf kepada orang yang ia tuduh dan ia kecam itu?
Dalam hal ini ada tiga pendapat:
Dari imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertaubat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara taubat orang yang berghibah dan mencela
Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezhalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu. Terutama jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan orang yang ia zhalimi itu kadar haknya itu. Karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya. Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun. Ia mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun penasaran klik selanjutnya ya!!!
BAGAIMANA HUKUM ISLAM MENGENAI LAGU DAN MUSIK?
Sebuah pertanyaan yang telah dilontarkan oleh banyak orang di berbagai kesempatan dan waktu yang berbeda-beda. Sebuah pertanyaan yang jawabannya banyak diperselisihkan oleh sebagian besar kaum Muslimin dan menimbulkan sikap yang berbeda-beda dari mereka akibat dari jawaban mereka yang berbeda-beda pula. Di antara mereka ada yang membuka kedua telinganya untuk mendengar segala macam lagu dan musik dengan alasan bahwa itu semua halal dan merupakan kenikmatan hidup yang diperbolehkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya.
Tetapi sebagian mereka ada yang mematikan radio atau menutup kedua telinganya ketika mendengar lagu apa pun dengan alasan bahwa sesungguhnya lagu itu seruling syetan dan lahan permainan yang dapat menghalang-halangi dari dzikrullah dan shalat. Terutama jika yang menyanyikan itu wanita, karena suara wanita itu sendiri menurut dia adalah aurat apalagi nyanyiannya. Dan mereka berdalil dengan ayat-ayat dan hadits-hadits serta beberapa pendapat ulama.
Di antara mereka ada yang menolak segala bentuk musik dari dua kelompok di atas, yaitu kadang-kadang ia sependapat dengan mereka dan kadang-kadang ikut pendapat yang lainnya. Kelompok ketiga ini selalu menunggu keputusan dan jawaban yang tuntas dari ulama Islam tentang masalah yang sangat penting ini. Yaitu yang berkaitan dengan perasaan manusia sehari-hari, terutama setelah masuknya siaran radio maupun televisi ke rumah-rumah mereka dengan segala macam lo pengen tau ya klik selanjutnyta!!!dan ragam acaranya yang serius maupun hiburan yang menarik telinga mereka untuk mendengarkan lagu-lagu dan musik yang disuguhkan, senang atau tidak.
Lagu, apakah disertai musik atau tidak, tetap menjadi permasalahan yang memancing perdebatan pendapat para ulama Islam sejak masa-masa pertama kali, sehingga mereka sepakat memperbolehkan dalam persyaratan tertentu dan mereka berselisih dalam kondisi lainnya.
Mereka sepakat untuk mengharamkan segala bentuk lagu yang mengandung perkataan yang kotor, pornografi, kefasikan atau mendorong seseorang untuk maksiat. Karena lagu tidak lain kecuali ucapan, maka yang baik menjadi baik dan yang buruk tetap saja buruk. Setiap ucapan yang mengandung keharaman menjadi haram. Maka bagaimana perasaanmu jika bergabung antara sajak, langgam dan perangsang?
Mereka juga bersepakat atas bolehnya lagu-lagu yang baik yang menyentuh fitrah serta bersih dari alat-alat musik dan perangsang, demikian itu pada saat-saat gembira seperti pesta perkawinan, kedatangan tamu dan pada saat hari-hari raya dan yang lainnya. Dengan syarat yang menyanyi bukan seorang wanita di hadapan laki-laki asing (yang bukan muhrimnya). Dan ini berdasarkan nash-nash yang sharih (jelas) yang akan kami jelaskan.
Ulama juga berselisih tentang selain yang tersebut di atas dengan perselisihan yang nyata. Sebagian mereka ada yang memperbolehkan segala bentuk nyanyian (lagu), baik dengan musik atau tidak, bahkan mereka menganggap itu mustahab (disukai). Dan ada sebagian mereka yang menolak lagu-lagu apabila menggunakan alat musik dan memperbolehkan apabila tidak memakai alat musik. Sebagian yang lain ada yang melarang secara mutlak, memakai alat musik ataupun tidak, dan menganggap itu perbuatan haram, bahkan sampai ke tingkatan dosa besar.
Karena pentingnya tema (masalah) ini maka kita harus menjelaskan secara rinci dan menyampaikan sekilas penjelasan tentang sisi-sisi yang diperselisihkan. Agar jelas bagi seorang Muslim antara yang halal dan yang haram dengan mengikuti dalil yang kuat dan terang, bukan asal ikut-ikutan, dengan demikian maka menjadi jelas dan benar dalam memahami agamanya.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Apakah Istighfar Bermanfaat Jika Dilakukan Sambil Terus Berbuat Dosa?
Di antara pertanyaan yang timbul dalam topik ini adalah: "apakah istighfar bermanfaat bagi orang yang melakukannya, jika ia tetap menjalankan dosa, yang besar maupun kecil?
Para ahli suluk berbeda pendapat dalam masalah ini: Di antara mereka ada yang berpendapat: istighfar itu akan bermanfaat baginya secara mutlak, meskipun ia tidak mempunyai tekad untuk bertaubat. Di antara mereka ada juga yang berkata: istighfarnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali, hingga ia benar-benar bertaubat. Dan pihak yang lain memerinci ketentuan-ketentuan dan kondisi masing-masing.
Aku adalah termasuk dalam kelompok yang ketiga ini. Menurutku: istighfar yang hanya diucapkan dengan lidah saja bermanfaat bagi orang yang beristighfar itu, jika diiringi dengan kesungguhan, kekhusyu'an dalam berdo'a, memohon dengan sangat dan merasakan kebutuhan yang amat besar akan maghfirah Allah SWT di waktu berikutnya. Ia meminta kepada Allah SWT sebagai seorang hamba yang fakir, meminta kepada Tuannya yang Maha Kaya, dengan permintaan makhluk yang lemah kepada Sang Pencipta Yang Maha Perkasa, permohonan sosok yang kecil kepada Rabbnya yang Maha Besar, Yang rahmat-Nya mencakup segala hal, dan maghfirah-Nya menyelimuti semua orang. Ketaatan manusia tidak membuat-Nya untung, dan maksiat mereka tidak wah penasaran ni!!! klik selanjutnya ok!mengurangi kekuasaan Allah SWT. Seorang hamba, jika ia beristighfar dengan semangat dan ruh seperti itu, maka istighfarnya tidak akan sia-sia. Di antara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama: seperti telah diungkapkan dari al Qur'an dan hadits tentang keutamaan istighfar, ia ditampilkan dalam beragam bentuk dan secara mutlak tanpa pembatas, sehingga mencakup orang yang masih tetap menjalankan kemaksiatan dan pelanggaran lainnya, maka mengapa kita kemudian membatasinya dengan batasan: "sambil tidak terus menjalankan maksiat?"
Kedua: istighfar --meskipun hanya dengan lidah-- adalah kebaikan yang dapat menghapus keburukan, apalagi jika disertai dengan permohonan yang sangat.
Imam Ghazali berkata: menurutku: istighfar dengan lidah juga merupakan suatu kebaikan. Karena gerakan lidah beristighfar lebih baik dari pada ia melakukan ghibah atau berkata-kata yang tidak ada manfaatnya. Ia juga lebih utama dari pada sekadar diam. Keutamaannya itu akan tampak jika dibandingkan dengan diam itu. Namun ia akan nampak kurang nilainya jika dibandingkan dengan amal hati. Oleh karena itu ada orang yang berkata kepada syeikhnya, Abi Utsman al Maghribi, sebagai berikut: lidahku sibuk berdzikir dan membaca al Quran, namun hatiku lalai! Mendengar hal itu ia berkomentar: bersyukurlah kepada Allah SWT, karena Dia menggerakan salah satu anggota badanmu untuk melakukan kebaikan, teruskanlah lidahmu untuk berdzikir, jangan gunakan untuk keburukan , atau berkata yang tidak berguna! [Ihya Ulumuddin: 4.]
Ketiga: Allah SWT berjanji --dan janji Allah SWT adalah pasti-- bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal seorang, dan balasan bagi orang yang berbuat kebajikan. Seperti firman Allah SWT:
"Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan baik."[QS. al Kahfi: 30]
"Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS. Huud: 115]
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." [QS. az-Zilzalah: 7]
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." [QS. an-Nisa: 40]
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain." [QS. Ali Imran: 195]
Dan istighfar --seperti telah kami katakan-- adalah amal, dan secara inheren ia adalah amal yang baik.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi dalam Asy-Sya'b dari Ibnu Abbas secara marfu': "orang yang beristighfar dari dosanya --sementara ia masih terus melakukan dosa tersebut-- adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya," adalah hadits dha'if. Dan yang rajihnya ia adalah hadits mauaquf pada Ibnu Abbas dan bukan hadits nabi [Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitab Fathul Bari hadits Ibnu Abbas dan lafazhnya adalah:
"Orang yang bertaubat dari dosanya adalah seperti orang yang tidak berdosa, dan orang yang meminta ampunan dari dosa sementara ia masih terus melakukan dosa itu adalah seperti orang yang mengejek Rabb-nya." Ia berkata: yang rajih adalah redaksi: "...wal mustaghfir (orang yang beristifghfar) ...dan seterusnya itu adalah mauquf. Sedangkan bagian pertama dari hadits itu adalah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabarani dari hadits Ibnu Mas'ud dan sanadnya adalah Hasan. (Fathul Bari: 13/ 471)]
Meskipun seandainya kita terima keberadaan hadit itu, maka ia dapat dipahami sebagai ucapan istighfar yang dilafalkan sebagai suatu kebiasaan saja, sambil memikirkan yang lain, serta tidak memahami maknanya, dan tidak pula dengan merajuk dan menangis.
Seperti itu pula perkataan sebagian orang yang mengatakan: istighfar tanpa meninggalkan diri dari dosa adalah taubat orang-orang pembohong! Dan perkataan yang lain: aku ber istighfar kepada Allah SWT dari istighfarku! Ini dapat dipahami bahwa istighfarnya itu semata dengan ucapan lidahnya saja, tanpa diiringi dengan gerakan hati yang merupakan rekan dalam amal itu.
Sedangkan perkataan Rabi'ah al Adawiah: istighfar kita butuh kepada istighfar lagi yang banyak! Jangan disangka bahwa ia mencela gerakan lidah yang sedang berdzikir kepada Allah SWT. Namun ia mencela hati yang lalai. Dan kelalaian hati seperti itu butuh kepada istighfar lagi dari kelalaian itu sendiri, bukan dari gerakan lidahnya. Dengan demikian, orang yang berdiam saja, tidak ber istighfar dengan lidahnya, dengan demikian membutuhkan dua macam istighfar, bukan hanya satu istighfar!
Seperti inilah seharusnya dipahami pujian orang yang memuji dan celaan orang yang mencela. Jika tidak maka ia berarti tidak memahami perkataan ini: "kebaikan orang-orang biasa adalah keburukan kaum muqarrabin! Karena ini adalah masalah yang nisbi, sehingga tidak dapat dipahami secara sederhana. Oleh karenanya tidak selayaknya kita menganggap ringan ketaatan dan perbuatan buruk yang amat kecil sekalipun.
Imam Ja'far ash-Shadiq berkata: Allah SWT menyembunyikan tiga hal dari tiga hal.
1. Menyembunyikan ridha-Nya dalam ketaatan kepada-Nya, oleh karena itu janganlah engkau cela ketaatan itu sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak ridha Allah SWT.
2. Menyembunyikan kemarahan-Nya dari kemaksiatan terhadap-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap ringan suatu kemaksiatan sekecil apapun, karena barangkali di situ terletak kemarahan-Nya. Dan
3. Dia menyembunyikan wali-Nya dari sekalian hamba-hamba-Nya, oleh karena itu janganlah engkau menganggap rendah seorang hamba Allah SWT , karena barangkali dia adalah wali Allah.
Sahl bin Abdullah (at Tustary) berkata: seorang hamba dalam segala keadaan pasti membutuhkan Tuhannya, oleh karena itu ia harus memperbaiki keadaannya, yaitu dengan selalu mengembalikan kepada-Nya segala sesuatu yang diputuskan dan ditentukan untuknya. Maka jika ia bermaksiat kepada Allah SWT, hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku tutupilah keburukanku itu". Dan jika ia telah membebaskan diri dari maksiat, maka hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku ampunilah dosaku!" Dan jika ia telah melakukan taubat hendaknlah ia berkata: "wahai Rabbku, berikanlah aku halangan dari melakukan kemaksiatan!" Dan jika ia telah mengerjakan ketaatan hendaklah ia berkata: "wahai Rabbku terimalah amal baik saya ini!"
Al Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: janganlah engkau menghina ketaatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak mengerjakannya, dan kemaksiatan sekecil apapun hingga membuat engkau tidak meninggalkannya. Seperti wanita pemintal yang malas untuk memintal benang, karena ia hanya mampu mengerjakan satu benang saja dalam satu jam, dan ia berkata: apa manfaatnya satu benang itu? dan kapan akan dapat menghasilkan satu baju? Ia tidak menyadari bahwa seluruh baju di dunia ini diciptakan dari satu-benang dengan benang lainnya, dan seluruh dunia yang luas ini di susun dari atom-atom kecil, maka berdo'a dengan menangis dan istighfar dengan hati adalah kebaikan yang tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT! [Dari Ihya Ulumuddin, Kitab Taubat, dikutip dengan ringkas.]
Disebutkan dalam kitab al Adzkaar dari Rabi' bin Khaitsam ia berkata: jangan engkau katakan: aku beristighfar kepada Allah SWT dan aku bertaubat kepadaNya". Karena itu dapat menjadi dosa jika ia tidak benar-benar menjalankannya. Namun katakanlah: "wahai Rabbku ampunilah daku dan berilah hamba taubat". An nawawi berkata: ini baik. Sedangkan ia tidak senang mengatakan "aku ber istighfar kepada Allah SWT " dan ia menamakannya sebagai kebohongan, an Nawawi tidak setuju dengan itu. Karena makna "astaghfirullah" adalah aku memohon ampunan-Nya, dan itu bukanlah kebohongan. Ia berkata: untuk menolak pendapat itu cukup dengan hadits Ibnu Mas'ud dengan lafazh:
"Barangsiapa yang mengucapkan: Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan selalu mengatur (makhluk-Nya) dan aku bertaubat kepadanya: niscaya diampunkan segenap dosa-dosanya meskipun ia pernah melarikan diri dari medan perang". Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmizi serta disahihkan oleh Hakim. Al Hafizh ibnu Hajar berkata: ini adalah dalam lafazh "Aku meminta ampunan kepada Allah Yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Hidup kekal dan Maha mengatur (sekalian makhluk-Nya) sedangkan kata "aku bertaubat kepadanya " inilah yang dimaksudkan oleh Rabi' bahwa itu adalah kebohongan. Dan demkkian juga jika ia mengucapkan taubat namun ia tidak menjalankan taubat itu".
Dalam berdalil dengan menggunakan hadits Ibnu Mas'ud itu patut diteliti kembali, karena dapat saja yang dimaksudkan adalah: jika ia mengatakan taubat dan mengerjakan syarat-syarat taubat itu. Dan dapat pula Rabi' ingin menggabungkan dua lafazh, tidak sekadar kata "astaghfirullah" sehingga seluruh perkataannya adalah benar. Wallahu a'lam.
Al Hafizh berkata: aku membaca dalam al Halabiat karya Taqiyyuddin as-Subki sebagai berikut: istighfar adalah meminta ampunan, baik dengan lidah, atau dengan hati atau juga dengan keduanya. Dengan yang pertama itu akan mendatangkan manfaat karena itu lebih baik dari sekadar diam, dan ia dapat dimasukkan sebagai perkataan yang baik. Yang kedua amat baik sekali, dan yang ketiga lebih baik lagi. Namun keduanya itu tidak menghapus dosa hingga terdapat taubat yang sebenarnya. Karena orang yang berbuat maksiat dan tidak juga meninggalkannya itu meminta diampuni, dan itu tidak harus ada taubat dalam dirinya. Hingga ia berkata: yang aku katakan bahwa makna istighfar adalah berlainan dengan makna taubat, adalah jika ditinjau berdasarkan redaksional. Namun menurut banyak ulama, lafazh "astaghfirullah" itu maknanya adalah taubat. Jika ada orang yang seperti itu keyakinannya, maka ia berarti menginginkan taubat. Kemudian ia berkata: dan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa taubat tidak sempurna kecuali dengan istighfar, dengan dalil firman Allah SWT:
"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya,"
sedangkan menurut pendapat yang masyhur, hal itu tidak disyaratkan. [Fathul Bari: 13/ 472]
Judul Asli: at Taubat Ila Allah
Pengarang: Dr. Yusuf al Qardhawi
AL QUR'AN MEMAPARKAN DUA UNSUR, MANFAAT DAN KEINDAHAN DALAM KEHIDUPAN
Apabila jiwa seni itu adalah bagaimana merasakan adanya keindahan dan menghayatinya, maka itulah yang diingatkan oleh Al Qur'an untuk diperhatikan, dan Al Qur'an telah menegaskan dalam banyak ayatnya.
Al Qur'an mengingatkan kita dengan tegas akan pentingnya unsur keindahan dan kecantikan yang telah Allah ciptakan pada setiap makhluq-Nya, selain unsur manfaat atau faedah yang juga ada padanya.
Demikian juga Allah telah memberikan kemampuannya kepada manusia untuk bisa merasakan keindahan dan hiasan sekaligus manfaat dari sesuatu.
Allah SWT berfirman menjelaskan karunia-Nya yaitu tentang penciptaan binatang ternak,
"Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan." (An-Nahl: 5)
Ayat tersebut menjelaskan tentang hikmah dan manfaat binatang. Kemudian pada ayat berikutnya Allah SWT berfirman:
"Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskan ke tempat penggembalaan." (An-Nahl: 6).
Ayat ini mengingatkan sisi keindahan yang mengingatkan kita akan keindahan Rabbani yang belum pernah disentuh oleh tangan pelukis seni yang dia hanya seorang makhluq, tetapi justru digambar langsung oleh Tangan Sang Pencipta, klik selanjutnya ok!!!yakni Allah SWT.
Di dalam surat yang sama Allah berfirman,
"Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan." (An-Nahl:8).
Menungganginya dapat menghasilkan manfaat, adapun hiasan itu merupakan kenikmatan tersendiri berupa keindahan yang bernilai seni yang dengannya siapa pun orangnya akan menyukainya.
Pada surat yang sama, Allah SWT juga menjelaskan tentang nikmat-Nya berupa lautan yang ditundukkan untuk manusia. Firman-Nya,
"Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untakmu), agar kamu dapat memakan dari padanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasaan yang kamu pakai ..." (An-Nahl: 14).
Di dalam ayat ini Allah tidak hanya menjelaskan faedah lautan dari unsur materi saja yaitu ikan yang bisa dimakan dan dimanfaatkan oleh tubuh, tetapi juga disertai hiasan yang dipakai sebagai perhiasan sehingga bisa dinikmati oleh mata dan dirasakan oleh hati.
Taujih Qur'ani seperti ini juga disebutkan berulang kali dalam Al Qur'an di berbagai lapangan kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan, tanaman, kurma, anggur, zaitun, delima dan yang lainnya, Allah SWT berfirman di dalam surat Al An'am:
"Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak, berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), tetapi tidak sama (rasannya) Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (Al An'am: 141)
Di dalam ayat lain pada surat yang sama Allah berfirman setelah menjelaskan tanam-tanaman, kebun kurma dan anggur sebagai berikut:
"Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman." (An-An'am 99)
Sebagaimana jasad kita membutuhkan makan buah-buahan pada saat berbuah, demikian juga jiwa kita membutuhkan hiburan yaitu dengan melihat buah itu apabila saatnya berbuah dan matang. Dengan demikian maka manusia harus menghindari dari harapannya yang berlebihan yaitu kepentingan perut. Allah SWT juga berfirman:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhrya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik..?" (Al A'raf: 31-32)
Hiasan itu merupakan kebutuhan jiwa kita sedangkan makan dan minum itu adalah kebutuhan jasad kita. Keduanya sama-sama diperlukan.
Demikian juga kita dapatkan istifham inkari (pertanyaan dalam bentuk pengingkaran) pada ayat yang kedua di atas yang ditujukan pada dua sasaran, yaitu sikap mengharamkan "Hiasan Allah" yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan mengharamkan "Ath-Thayyibaat" (yang baik-baik) dari rezki.
"Zinatullah" (hiasan Allah) menggambarkan tentang keindahan yang telah Allah persiapkan untuk hamba-hamba-Nya, selain unsur manfaat yang tergambar dalam ungkapan "Ath-Thayyibaat min ar-Rizqi." Coba renungkanlah penyandaran ini yaitu penyandaran kata "Ziinah" kepada "lafadz Allah," ini membuktikan kemuliaan zinah (hiasan) dan mengingatkan kita akan urgensinya.
Dalam dua ayat berikut ini Allah SWT berfirman, menjelaskan tentang fungsi pakaian sebagai berikut:
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuh perhiasaan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik . ." (Al A'raf: 26)
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan tentang fungsi pakaian dalam tiga unsur, yaitu menutupi 'aurat yang diungkapkan dalam, "Yuwwarii sau'aatikum," kemudian berfungsi sebagai keindahan dan hiasan, yaitu sebagai upaya pemeliharaan dari panas dan dingin, dan pakaian taqwa yang diungkapkan dengan, "Wa libaasut-taqwaa."
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Jumat, 21 Mei 2010
AL QUR'AN MUJIZAT YANG lNDAH
Al Qur'an Al Karim merupakan mu'jizat Rasul yang agung termasuk mu'jizat yang indah selain juga mu'jizat yang logis. Ia telah membuat bangsa Arab tidak mampu berkutik, yaitu dengan keindahan bayannya, kerapian susunan dan uslubnya, dan keunikan suaranya apabila dibaca, sehingga sebagian mereka menamakannya "Sihir."
Para ulama balaghah dan para sastrawan bangsa Arab sejak masa Abdul Qahir sampai Ar-Raf"i dan Sayyid Quthb dan selain mereka pada zaman kita ini telah menjelaskan sisi I'jaz bayani (kejelasan mu'jizat) atau sisi keindahan dalam kitab ini.
Yang dituntut di dalam membaca Al Qur'an adalah bertemunya antara keindahan suara dan tajwidnya sampai keindahan bayan dan susunannya, oleh karena itu Allah SWT berfirman:
"Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan." (Al Muzzammil:4)
Rasulullah SAW bersabda
"Bukanlah termasuk ummatku orang yang tidak melagukan maka klik selanjutnya!!Al Qur'an." (HR. Bukhari)
Tetapi dengan lagu yang khusyu' bukan main-main atau merubah.
"Hiasilah Al Qur'an itu dengan suaramu." (HR. Muslim)
Dalam riwayat lainnya disebutkan
"Sesungguhnya suara yang baik itu menambah Al Qur'an menjadi baik." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa'i)
Rasulullah SAW juga bersabda kepada Abu Musa Al Asy'ari RA, "Seandainya kamu melihatku, aku mendengarkan suaramu tadi malam, sungguh kamu telah diberi seruling dari seruling keluarga Dawud." Abu Musa berkata, "Seandainya aku mengetahui hal itu, maka aku akan membacakan untukmu dengan bacaan yang lebih baik." (HR. Muslim)
Rasulullah SAW juga bersabda:
"Apa yang diizinkan Allah pada sesuatu, apa yang dizinkan Allah kepada Nabinya (adalah) untuk membaguskan dalam melagukan Al Qur'an yang dia baca dengan keras." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Saya pernah mendengar syaikh kita Dr. Muhammad Abdullah Darraz rahimahullah pernah menceritakan kepada kami tentang sikapnya dalam Majlis Al A'la penerangan siaran, dan beliau termasuk staf anggota, mengatakan "Sesungguhnya mereka itu menghendaki untuk menjadikan waktu membaca Al Qur'an pada pembukaan dan penutupan acara serta dalam acara-acara yang lainnya karena dengan perhitungan memberikan andil di bidang agama saja," maka Syaikh mengatakan, "Sesungguhnya mendengar Al Qur'an itu bukan hanya pertimbangan agama saja, akan tetapi juga bernilai seni dan keindahan dari isi kandungan Al Qur'an dan suaranya yang indah."
Ini benar, karena dalam Al Qur'an terkandung unsur agama, ilmu, sastra dan seni secara bersamaan. Dia mampu memberikan siraman ruhani, memberikan kepuasan akal, membangunkan perasaan, memberikan kenikmatan pada perasaan dan memperlancar lisan.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
AKHLAQ DAN KEUTAMAAN DALAM AGAMA ISLAM
Sebagaimana masyarakat Islam itu memiliki keistimewaan di bidang aqidah, ibadah dan pemikiran, maka ia juga memiliki keistimewaan dalam masalah akhlaq dan keutamaan.
Akhlaq dan keutamaan merupakan bagian penting dari eksistensi masyarakat Islam. Mereka adalah masyarakat yang mengenal persamaan keadilan, kebajikan dan kasih sayang, kejujuran dan kepercayaan, sabar dan kesetiaan, rasa malu dan kesetiaan, 'izzah dan ketawadhu'an, kedermawanan dan keberanian, perjuangan dan pengorbanan, kebersihan dan keindahan, kesederhanaan dan keseimbangan, pemaaf dan penyantun, serta saling menasihati dan bekerjasama (ta'awun). Mereka beramar ma'ruf dan nahi munkar, melakukan segala bentuk kebaikan dan kemuliaan, keutamaan akhlaq, semua dengan niat ikhlas karena Allah, bertaubat dan bertawakal kepada-Nya, takut menghadapi ancaman-Nya dan mengharap rahmat-Nya. Memuliakan syiar-syiarNya, senang untuk memperoleh ridhaNya, menghindari murka-Nya, dan lain-lain dari nilai-nilai Rabbaniyah yang telah banyak dilupakan oleh manusia.
Ketika kita berbicara tentang akhlaq, maka bukanlah akhlaq itu hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia saja, akan tetapi ia mencakup hubungan manusia dengan penciptannya juga.
Masyarakat Islam sejak dari hal-hal yang kecil telah mengharamkan segala yei penasaran klik selanjutnya donk!!!bentuk kerusakan dan moralitas yang buruk. Bahkan dalam beberapa masalah bersikap keras, sehingga memasukkannya dalam kategori dosa-dosa besar. Seperti misalnya pengharaman arak dan judi, keduanya dianggap sebagai perbuatan kotor dari perbuatan-perbuatan syetan. Kemudian pengharaman zina dan setiap perbuatan yang mendekatkan atau membantu terlaksananya perzinaan. Seperti kelainan seksual yang itu merupakan tanda rusaknya fitrah dan hilangnya kejantanan. Masyarakat Islam juga mengharamkan praktek riba dan memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil, terutama jika orang itu lemah, seperti anak-anak yatim. Juga mengharamkan sikap durhaka kepada kedua orang tua, memutus hubungan kerabat, mengganggu tetangga, menyakiti orang lain baik dengan lesan atau tangan, dan menjadikan di antara tanda-tanda kemunafikan sepert i: dusta, berkhianat, tidak menepati janji, serta penyelewengan yang lain.
Terhadap setiap kerusakan yang menyimpang dari fithrah yang sehat dan akal yang cerdas, maka Islam datang untuk mengingkarinya dan terus menerus mengingkarinya. Demikian juga akhlaq mulia yang sesuai dengan fithrah yang sehat dan akal yang waras akan memberi kebahagiaan bagi individu maupun masyarakat maka Islam telah membenarkan dan memerintahkan serta menganjurkannya.
Bagi siapa saja yang membaca Kitab Allah dan hadits-hadits Rasul SAW akan melihat bahwa sesungguhnya akhlaq dan keutamaan itu merupakan salah satu pilar utama bagi masyarakat Islam dan bukan sesuatu yang berada di pinggir atau masalah sampingan dalam hidup. Al Qur'an menyebut akhlaq termasuk sifat-sifat utama dan orang-orang yang beriman dan bertaqwa, di mana tiada yang masuk syurga selain mereka, tiada yang bisa selamat dari api neraka selain mereka dan tiada yang dapat meraih kebahagiaan dunia akhirat selain dari mereka. Akhlaq merupakan bagian dari cabang-cabang keimanan, di mana tak sempurna keimanan seseorang kecuali dengan menghiasi keimanan tersebut dengannya. Barangsiapa yang berpaling dari akhlaq Islam maka ia telah menjauhi sifat-sifat orang yang beriman dan berhadapan dengan murka Allah serta laknatNya.
Berikut ini kami kemukakan sebagian ayat-ayat Al Qur'an mengenai akhlaq Islamiyah sebagai gambaran/contoh sesuai dengan urutan mushaf:
"Bukankah menghadaphan wajahmu ke arah timur dan Barat itu satu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatirn, orang-orang miskin, rnusafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang betaqwa." (Al Baqarah: 177)
Ayat yang mulia ini mengumpulkan antara aqidah, yaitu beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi, dengan ibadah, seperti shalat dan zakat dan dengan akhlaq, yaitu memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim dan seterusnya, sampai menepati janji, sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Kemudian menjadikan keterkaitan yang rapi tersebut sebagai hakikat kebajikan dan hakikat beragama serta hakikat ketaqwaan, sebagaimana hal itu dikehendaki oleh Allah.
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orangyang menunaikan apa-apa yang Allah perintahkan supaya ditunaikan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhann Tuhan-nya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)." (Ar-Ra'du: 19-22)
Gambaran akhlaq dalam ayat ini memiliki keistimewean, yakni dengan mengumpulkan antara akhlaq Rabbaniyah seperti takut kepada Allah dan takut akan buruknya hisab dengan akhlaq lnsaniyah seperti menepati janji, sabar, silatur rahim, berinfaq dan menolak kejahatan dengan kebaikan. Sesungguhnya orang merenungkan ayat tersebut akan medapatkan bahwa pada dasarnya akhlaq itu seluruhnya bersifat Rabbaniyah. Karena pada hakekatnya kesetiaan itu adalah setia terhadap janji Allah, dan shilah adalah melaksanakan perintah Allah, sabar semata-mata untuk memperoleh ridha Allah, berinfaq juga mengeluarkan rezeki Allah, maka seluruhnya menjadi akhlaq Rabbaniyah yang sampai kepada Allah. Apalagi disertai dengan mendirikan shalat karena shalat itu seluruhnya termasuk ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah dan menerima sesuatu yang ada di sisi Allah.
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhi diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannnya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di baik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya." (Al Mu'minun: 1-11)
Dalam ayat ini kita dapatkan bahwa khusyu' di dalam shalat, menunaikan zakat dan memelihara shalat itu termasuk dalam lingkup ibadah, selain juga berpaling dari hal-hal yang tidak berguna, memelihara kemaluan dari yang haram dan menjaga amanat-amanat dan janji.
"Dan hamba-hamba (Allah) Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, jauhkan adzab Jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman." Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain selain Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), yakni akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan yang tidak berguna , mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah dari isteri-isteri kami dan dari keturunan kami sebagai peryenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa. "Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal selama-lamarya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman." (Al Furqan: 63-76)
"Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabbnnya mereka, mereka bertawakal. Dan (bagi) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan rnusyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim." (Asy Syura: 36-40)
Ada dua hal dalam ayat ini yang sangat penting untuk diperhatikan oleh masyarakat Islam, yaitu:
Pertama, menetapkan prinsip syura sebagai unsur terpenting bagi terbentuknya kepribadian masyarakat Islam. Untuk itu syura diletakkan di antara mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat yang di dalam ayat ini diungkapkan dengan berinfaq terhadap sebagian dari rizki yang dikaruniakan oleh Allah. Dan tidak samar bagi seseorang kedudukan shalat dan zakat dalam agama Islam, maka sesuatu yang diletakkan di antara keduanya bukanlah masalah sekunder atau remeh dalam agama Allah.
Kedua, terus berjuang ketika mereka ditimpa oleh suatu kejahatan. Maka bukanlah sikap seorang Muslim menyerah pada suatu kezhaliman atau tunduk kepada kezhaliman dan permusuhan. Tetapi membalas kejahatan itu dengan kejahatan yang serupa agar ia (kejahatan tersebut) tidak berlanjut dan tidak berani lagi berbuat macam-macam. Adapun kalau kita mau memberi maaf, maka pahalanya ada pada Allah.
Dari ayat-ayat pilihan yang telah kami kemukakan tersebut, nampak jelas bagi kita akan kedudukan akhlaq Islam dan posisinya dalam pembentukan masyarakat Islam. Yang disebutkan ini baru sebagian kecil dan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur'an Al Karim yang membahas tentang akhlaq dan keutamaan. Karena Al Qur'an, baik yang diturunkan di Mekkah ataupun di Madinah penuh dengan ayat-ayat yang mengemukakan kepada kita berbagai contoh akhlaq yang mulia. Yang menggabung antara idealita dan realita, antara spintual dan material atau antara agama dengan dunia, dengan seimbang dan serasi, yang belum pernah dikenal dalam aturan yang mana pun (selain Islam).
Para pembaca Al Qur'an bisa merujuk pada surat Al An'am sehingga bisa membaca sepuluh wasiat pada ayat-ayat yang akhir sebagai berikut:
"Katakanlah, "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar." Demikian itu yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yaatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu, dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kau mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (Al An'am: 151-153)
Atau merujuk pada surat Luqman dan membaca tentang wasiat Luqman kepada anaknya, atau merujuk pada surat "Ad Dahr" dan membaca sifat-sifat orang-orang baik:
"Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan." (Al Insan (Ad-Dahr): 7-8)
Atau kembali pada surat Al Baqarah dan membaca pada bagian akhir dari surat ini ayat-ayat Allah mengenai diharamkannya riba dan nadzar seseorang untuk makan riba dan bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi mereka jika mereka tidak mau bertaubat dan berhenti untuk cukup dengan modal harta mereka.
Atau kembali pada surat An-Nisa' tentang bagaimana memberi wasiatwasiat yang baik kepada kaum wanita:
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka." (An-Nisa': l9)
Atau membaca surat yang sama yaitu tentang hak-hak kerabat keluarga:
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya." (An-Nisa': 36)
Atau membaca surat Al Maidah:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (Al Maidah: 90)
Kata "Ijtinaab" sebagaimana terdapat pada ayat tersebut tidak dipergunakan oleh Al Qur'an kecuali bersamanya kesyirikan dan dosa-dosa besar.
Sehingga pembicaraan akan panjang jika kita teliti pembahasan masalah akhlaq dalam ayat-ayat Al Qur'an yang mulia, karena sebagian besar perintah-perintah Al Qur'an dan larangan-larangannya berkaitan erat dengan sisi terpenting dari kehidupan manusia, itulah sisi moral.
Barangkali ada sebagian manusia yang berbeda dengan kita dalam hal memberi nama masalah tersebut dengan "Akhlaq," tetapi ia memberi nama dengan istilah "Awaamirdan Nawaahi." Ini hanya perbedaan dalam istilah saja, yaitu dalam penamaan, bukan dalam esensinya, baik secara penetapan atau pengingkaran. Para ulama salaf mengatakan:
"Tidak ada masalah dalam istilah, dan tidak berbahaya perselisihan nama selama yang diberi nama itu telah jelas."
Kita memilih pemberian nama masalah-masalah yang dibawa oleh Al Qur'an dan As-Sunnah tersebut dengan "Akhlaq" karena ta'rif (definisi) akhlaq itu sangat sesuai dengannya.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
AGAMA YANG BENAR DI SISI ALLAH
Sepanjang sejarah, Allah telah mengutus para rasul-Nya kepada umat manusia. Para rasul Allah menyeru seluruh umat manusia kepada jalan yang benar dan menyampaikan kepada mereka ajaran-ajarannya. Tetapi pada saat ini, ada suatu keyakinan yang berkembang bahwa apa yang diwahyukan melalui para rasul kepada manusia merupakan agama yang berbeda. Hal ini merupakan pendapat yang keliru. Agama yang diwahyukan Allah kepada manusia di masa yang berbeda adalah sama. Misalnya, Yesus (as) telah menghapus beberapa larangan yang dibawa oleh agama sebelumnya. Walaupun demikian, tidak ada perbedaan yang berarti dalam ajaran agama-agama yang diwahyukan Allah. Apa yang telah diwahyukan kepada para rasul sebelumnya, kepada Musa (as), Yesus (as) dan kepada rasul terakhir Muhammad (saw) pada dasarnya sama:
Katakanlah, " Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim (Abraham), Isma’il (Ishmael) dan Ishaq (Isaac) dan Ya'qub (Jacob) dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa (Moses) dan Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka..." (Surat Ali Imran: 84-85)
Sebagaimana tertulis dalam ayat tersebut, agama yang benar yang diturunkan untuk manusia adalah Islam. Apa yang kita pahami dari Al-Qur'an adalah bahwa seluruh rasul menyeru umatnya kepada jalan yang sama. Allah menggambarkan fakta penasaran?klik selanjutnya donk!!ini dalam ayat-Nya:
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat terang bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kapadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali kepada-Nya." (Surat asy-Syu'araa': 13)
Allah telah mengutus para rasul-Nya untuk menyampaikan agama ini, satu-satunya agama yang Dia ridhai, kepada seluruh umat manusia dan kemudian memberikan peringatan kepada mereka. Setiap orang, kepada mereka yang Allah utus dan kepada siapa pun yang kemudian diserukan agama ini, mendapatkan beban untuk mengikutinya.
Meskipun demikian, beberapa kelompok masyarakat ada yang menerima ajaran tersebut, namun ada juga yang menolaknya. Sebaliknya, pada beberapa kelompok masyarakat, agama yang benar tersebut diselewengkan menjadi ajaran yang sesat setelah kematian rasul mereka.
Salah satu dari kelompok masyarakat yang tersesat dari agama yang benar adalah Bani Israel. Sebagaimana yang diinformasikan dalam Al-Qur'an, Allah telah mengutus banyak rasul kepada Bani Israel; mereka telah menyampaikan agama yang benar. Akan tetapi, setiap masa mereka menentang seorang rasul atau setelah kematian rasul tersebut, mereka mentransformasikan agama yang benar tersebut menjadi suatu ajaran yang sesat. Selain itu, dari Al-Qur'an, kita mengetahui bahwa bahkan saat Musa (as) masih hidup pun, Bani Israel menyembah sapi betina yang terbuat dari emas selama masa ketidakhadirannya yang sebentar saja (lihat surat Thaahaa: 83-94). Setelah Nabi Musa (as) tiada, Allah mengutus beberapa nabi lainnya kepada Bani Israel untuk memberikan peringatan kepada mereka dan yang terakhir dari para nabi yang diutus itu adalah Yesus (Isa) (as).
Seumur hidupnya, Yesus (as) menyeru umatnya untuk hidup dengan agama yang diturunkan Allah dan mengingatkan mereka untuk menjadi hamba Allah yang benar. Dia memerintahkan mereka dengan ajaran yang ada di dalam Injil – wahyu yang diturunkan kepadanya yang sebagian dari ajaran tersebut masih ada dalam kitab Injil dewasa ini. Kitab tersebut membenarkan ajaran-ajaran Taurat – wahyu yang diturunkan kepada Musa (as) yang sebagian ajarannya masih ada dalam Taurat atau Perjanjian Lama yang kemudian diselewengkan. Mengkritisi ajaran-ajaran yang tidak benar dari para rabi yang bertanggung jawab atas kemrosotan agama yang benar, Yesus (as) telah menghapus aturan-aturan yang dibuat oleh para rabi itu, yang melaluinya, mereka mendapatkan keuntungan secara personal. Dia menyeru kepada Bani Israel untuk mengesakan Allah, kebenaran yang hakiki, dan berakhlak luhur, sebagaimana firman Allah:
Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.
(Surat Ali Imran: 50)
Setelah Yesus (as), Allah mengutus seorang rasul lain yang berasal dari suatu suku yang berbeda agar melalui rasul-Nya ini, Allah dapat menurunkan wahyu berupa agama yang asli ke dunia dan Dia membekalinya dengan sebuah kitab suci. Rasul itu adalah Nabi Muhammad (saw) dan kitab tersebut adalah Al-Qur'an, satu-satunya wahyu yang tidak diubah.
Al-Qur'an diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di dunia. Seluruh umat manusia di semua masa akan mendapatkan kewajiban beriman terhadap kitab ini karena mereka diperintahkan untuk mengikuti ajaran Islam. Mereka akan diadili berdasarkan Al-Qur'an pada hari perhitungan. Pada masa kita khususnya, seluruh bangsa di dunia secara esensi disatukan dan hampir menjadi seperti suatu suku yang satu; terima kasih kepada penerobosan di bidang teknologi. Seorang akademisi menunjukkan bahwa dunia dewasa ini sebagai global village (desa buana). Karena itu, hanya ada sebagian kecil manusia di dunia ini yang tidak menyadari keberadaan Al-Qur'an dan yang oleh karenanya pula belum mendapatkan informasi tentang Islam. Walaupun demikian, ada suatu bagian tertentu dari umat manusia yang mempunyai keyakinan pada Al-Qur'an. Di antara mereka ada yang telah beriman, namun kebanyakan dari mereka tidak hidup berdasarkan ajaran-ajaran yang disebutkan dalam Al-Qur'an.
Kita berharap bahwa Yesus (as) akan kembali ke bumi dan menyeru umat manusia kepada jalan yang benar. Allah memberikan kabar gembira tentang masalah ini dalam Al-Qur'an. Sebagaimana yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dalam situs ini, Yesus (as) telah diangkat ke haribaan Allah dan tidak wafat dalam arti fisik. Setelah beberapa masa, dia akan kembali dan menjadikan Islam menang di muka bumi. Upaya terbaik yang dapat dilakukan, baik oleh umat Nasrani maupun umat Islam dunia adalah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan tamu yang diberkati ini dan tidak mengulangi melakukan perlawanan terhadapnya seperti di masa silam.
PANDANGAN AMAL PADA AGAMA ISLAM
Amal adalah buah ilmu, karena itu dikatakan dalam pepatah, "Ilmu tanpa amal sama dengan pohon tanpa buah atau awan tanpa hujan."
Amal juga merupakan buah keimanan yang benar, karena tidak mungkin ada keimanan tanpa amal. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang dimasukkannya amal sebagai bagian dan hakikat iman atau syarat sahnya iman atau buah dari iman, adalah merupakan sesuatu yang tidak diragukan bahwa keimanan yang benar (hakiki) itu harus membuahkan amal. Oleh karena Al Qur'an mengumpulkan antara iman dan amal dalam berpuluh-puluh dan ayatnya, karena itu ulama salaf berkata, "Iman adalah sesuatu yang meresap dalam hati dan dibuktikan dengan amal."
Amal yang dituntut di sini adalah mencurahkan segala upaya yang positif untuk merealisasikan tujuan-tujuan syar'i terhadap manusia di atas bumi ini.
Tujuan-tujuan itu, sebagaimana PENASARAN KLIK SELANJUTNYA.... diisyaratkan oleh Al Qur'an dikumpulkan dalam tiga hal, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Raghib Al Ashfahani dalam kitabnya, "Adz-Dzarii'ah ilaa Makaarimisy-Syarii'ah," yaitu sebagai berikut:
1. Ibadah.
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzaariyaat: 56)
2. Khilafah.
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan di bumi seseorang khalifah (Al Baqarah: 30)
3. 'Imaarah (memakmurkan bumi).
Sebagaimana firman Allah SWT
"Dialah (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan kamu pemakmurnya..." (Hud: 61)
Tiga hal tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya. 'Imaarah (memakmurkan) ketika dilaksanakan dengan niat ikhlas, maka akan kenilai ibadah sekaligus melaksanakan tugas khilafah. Sedangkan ibadah dalam arti yang luas meliputi khilafah dan 'imaarah, dan tidak mungkin akan terwujud khilafah kecuali dengan adanya ibadah dan 'imaarah.
Amal yang diinginkan oleh Islam adalah "amal shalihat." Kata shalihat dalam Al Qur'an memiliki makna yang luas, meliputi segala sesuatu yang membawa maslahat kepada agama dan dunia, membawa maslahat untuk individu dan masyarakat. Ia juga meliputi ibadah dan muamalah, atau aktifitas hidup dunia dan akhirat sebagaimana diajarkan oleh ulama kita rahimahumullah.
Al Qur'an menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi, menghidupkan dan mematikan dan telah menjadikan apa yang ada di atas bumi ini sebagai hiasan. Itu semua untuk suatu tujuan yang jelas sebagaimana telah ditentukan oleh Allah dalam firman-Nya:
"Supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya." (Al Mulk: 2)
"Supaya Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling banyak amalnya." (Al Kahffi: 7)
Artinya bahwa Allah SWT tidak menginginkan amal yang sembarang amal, tidak pula sekedar amal yang baik, tetapi menginginkan dari mereka amal yang paling baik.
Maka perlombaan di antara mereka bukan antara amal yang buruk dan baik, tetapi antara amal yang baik dan yang paling baik.
Tidak heran jika kita dapatkan dari ungkapan ayat-ayat Al Qur'an yang menyenangkan, yaitu kata-kata "Allatii hiya ahsan." Seperti misalnya, bahwa hendaknya seorang Muslim berdebat dengan cara yang lebih balk (Anhl: 125), menolak dengan cara yang lebih baik (Al Mukminun: 96), dan menginvestasikan harta anak yatim dengan cara yang paling baik (Al Isra': 34), serta mengikuti sebaik-baik apa yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, "Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu ..." (Az-Zumar: 55).
Al Qur'an selamanya mengajak kepada sesuatu yang paling baik, dan bukan sekedar baik.
Kerja perekonomian dengan segala cabang dan ragamnya adalah termasuk ibadah yang paling utama apabila disertai dengan niat yang benar dan dilakukan dengan itqan (sebaik-baiknya) serta terikat oleh ketentuan hukum Allah. Terutama kerja yang produktif dalam pertanian, industri, besi dan pertambangan.
Bangsa Arab telah turun-temurun sejak dahulu meremehkan kerja ketrampilan tangan, dan mereka lebih mengutamakan untuk pergi (berkunjung) ke Amir atau kepala suku untuk minta bantuan daripada bekerja untuk mencari ma'isyah (penghidupan). Maka Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sesungguhnya bekerja apa pun untuk mencari ma'isyah, meskipun sedikit pemasukannya dan banyak kerjanya, itu lebih baik daripada meminta-minta.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sungguh jika ada di antara kamu yang mengikatkan tali di atas punggungnya, kemudian datang dengan membawa sebongkok kayu bakar, lalu menjualnya, sehingga Allah menutupi wajahnnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia, apakah mereka memberi atau menolaknya." (HR. Bukhari)
Rasulullah SAW juga mendorong ummatnya untuk berwiraswasta dan bekerja dengan tangannya sendiri. Beliau bersabda:
"Tdaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari pada makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah (Dawud) makan dari hasil pekerjaan tangannya." (HR. Bukhari)
Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada seorang Muslim yang bercocok tanam, kemudian ada burung, manusia atau binatang yang memakannya, kecuali itu menjadi sedekah baginya." (HR. Bukhari)
Di antara taujih Nabi SAW yang paling menarik dalam menjelaskan nilai beramal (bekerja) adalah hadits yang berbunyi:
"Apabila kiamat terjadi, sementara di tanganmu ada bibit kurma, maka jika mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, maka tanamlah." (HR. Ahmad)
Kenapa dia harus menanamnya, sementara kiamat sudah hampir terjadi. Bukankah nantinya tidak akan ada yang memanfaatkannya, baik yang menanam ataupun orang-orang setelahnya.
Ini membuktikan bahwasanya bekerja itu pada dasarnya sangat ditekankan, dan sesungguhnya merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk tetap bekerja dan senantiasa produktif, sampai habis tetes terakhir minyak dalam pelita kehidupan ini.
Sesungguhnya bekerja itu merupakan ibadah dan taqarrub kepada Allah, baik buahnya bisa dimakan manusia atau tidak. Seandainya kaum Muslimin memahami ini, niscaya Allah akan membukakan berkah dari langit dan bumi untuk mereka, dan mereka bisa memakan hasilnya dari atas dan dari bawah. Dan mereka akan menjadi masyarakat yang paling produktif dan paling kaya di antara masyarakat dunia yang lain. Mereka tidak akan hidup bergantung kepada ummat yang lainnya, mereka tidak akan kekurangan makanan pokok sehari-hari, karena negerinya negeri agraris, dan mereka juga tidak membutuhkan senjata yang mereka perlukan untuk memelihara kehormatan, tanah air dan 'izzah mereka. Cukuplah seandainya ummat lain itu tidak di suplai dari ummat Islam mereka akan mati kelaparan dan mereka akan mengalami kekalahan mental karena hinanya.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
Rabu, 12 Mei 2010
DUA JENIS PEMIKIRAN (PAHAM) YANG BERBAHAYA BAGI MASYARAKAT
Masyarakat Islam saat ini harus dibebaskan dari dua bentuk pemikiran (paham) yang ditransfer kepada mereka dari tatanan masyarakat lain dan telah merasuk ke seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat awam maupun cendekiawan dan ulamanya.
Dua pemikiran itu adalah:
Pertama, berbagai pemahaman yang mempengaruhi kaum Muslimin pada masa-masa terjajah berupa kesalahfahaman mereka tentang Islam. Seperti memahami zuhud dengan meninggalkan sama sekali kehidupan (dunia) ini sehingga dikuasai oleh orang-orang yang kufur; memahami keimanan terhadap taqdir seperti yang difahami oleh kaum Jabariyah; memahami bahwa fiqih adalah mengutip pendapat orang-orang (ulama) dahulu; memahami bahwa pintu ijtihad itu telah ditutup, akal itu berlawanan dengan wahyu; menganggap wanita sebagai sarang (perangkap) syetan; juga pemahaman bahwa Al Qur'an itu bisa digantung untuk memelihara diri dari jin; atau bahwa berkah Sunnah itu terletak pada pembacaan Shahih Bukhari ketika terjadi kesedihan (musibah); dan memahami masalah wali dan karamah dengan pemahaman maka klik selanjutnya ya... yang bertentangan dengan sunnatullah. Dan masih banyak lagi pemahaman yang lainnya yang berkembang pada masa kebekuan ilmu dan pemikiran, taklid di bidang fiqih, perdebatan ilmu kalam, penyimpangan di bidang peribadatan, diktator politik dan dekadensi peradaban.
Kedua, berbagai pemahaman yang menyerang masyarakat kita (kaum Muslimin) bersamaan dengan serangan penjajah. Ia masuk dari pintunya, berjalan bersama rombongannya, berlindung di belakangnya dan menjadikan mereka (penjajah) sebagai kiblat dan imamnya, padahal belum pernah ada perjanjian antara mereka dengan kita, bahkan belum pernah terlintas di benak kita.
Itulah pemikiran-pemikian yang menyimpang berkaitan dengan agama dan dunia, laki-laki dan wanita, keutamaan dan kerendahan, kebebasan dan kejumudan, kemajuan dan kemunduran, halal dan haram dan sebagainya. Pemahaman-pemahaman yang membuat rancu/kabur batas-batas yang memisahkan antara kebebasan berfikir dengan kebebasan kufur, antara kebebasan huquq (hak-hak) dengan kebebasan jusuq (kefasikan), antara ilmiyah dan 'ilmaniyah (sekulerisasi), antara diniyah (agama) dan daulah (negara) Islamiyah.
Itulah mufahim (berbagai pemahaman) ghazwul fikri yang menganggap beriman kepada barang ghaib sebagai keterbelakangan, berpegang teguh pada perilaku pada syari'at Allah adalah sikap ekstrim, beramar ma'ruf dan nahi munkar dianggap ikut campur dalam urusan orang lain, percampuran laki-laki dan perempuan tanpa batas dianggap sebagai wujud kebebasan, kembalinya wanita Muslimah untuk mengenakan hijab syar'i (pakaian yang menutup auratnya) dianggap sebagai kemunduran, memanfaatkan warisan (khasanah) Islam dianggap fanatik, menjadikan ulama sebagai panutan dianggap kuno, sementara para "da'i" (missionaris) Barat dianggap sebagai cendekiawan yang menerangi peradaban ummat.
Maka wajib bagi para da'i, para ulama dan para pemikir lslam untuk mendahulukan pemikiran-pemikiran lslam yang shahih dan orisinil untuk menggusur dan menggeser pemikiran dan pemahaman Barat yang sempat merasuk, baik itu yang lama maupun yang baru. Kedua-duanya sama saja dalam hal menggambarkan lslam dalam wajah yang tidak sesuai aslinya. Semua pemikiran itu beracun, merusak dan sudah basi. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ustadz Malik bin Nabi sebagai pemikiran yang mati dan mematikan.
Dari sisi lain, jika kita lihat pada permasalahan ini dalam kerangka keadilan, untuk dapat terhindar dari ekstrimintas maka kita harus mengambil pemahaman yang tengah-tengah. Kita menolak segala bentuk sikap berlebihan, baik ghuluw (berlebihan) maupun iftrath (menyepelekan) sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sekuler dan gerakan pembaratan.
Telah saya sebutkan dalam kitab saya "Al Islam Wal 'Ilmaniyah" delapan belas pemahaman pokok tentang lslam. Dengannya saya ingin membatasi gambaran lslam yang saya dakwahkan, sehingga tidak ada yang mengira bahwa saya berdakwah kepada lslam yang sulit atau tidak jelas atau khayalan sehingga bisa diinterpretasikan oleh siapa pun sesuai yang mereka inginkan.
Di sini saya kemukakan sekumpulan pemikiran lslam yang cemerlang, sederhana dan lurus yang dibuat oleh ustadz Dr. Ahmad Kamal Abu Majd. Saya sependapat dengan pemikiran beliau secara umum, meski saya juga berbeda dalam sebagian uraiannya.
Kitab ini sendiri mengemukakan gambaran tentang masyarakat lslam yang kita cita-citakan dalam kerangka pemahaman madrasah wushtha (aliran tengah) yang memadukan antara akal dan wahyu, antara agama dan dunia, dan mengkompromikan antara muhkamaatisy syar'i (kekuatan syar'i) dan muqtadhayaatul 'ashri (tuntutan zaman). Menyeimbangkan antara hal-hal yang konstan (tsawaabit) dan yang mengenal perubahan, menggabung antara salafiyah dan tajdid (yang lama dan yang baru), serta percaya terhadap keterbukaan tanpa harus meleleh/larut dan toleran dengan kebatilan.
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
MEMPERSEMPIT PERBEDAAN ANTAR GOLONGAN DALAM ISLAM
Islam mengakui adanya perbedaan antar manusia dalam masalah hak milik dan rezeki, karena fitrah (ciptaan) Allah menghendaki adanya perbedaan di antara mereka. Bahkan yang lebih dari itu, yaitu dalam hal kecerdasan, kecantikan, kekuatan fisik dan seluruh pemberian dan kemampuan secara khusus, maka tidak aneh jika terjadi perbedaan antara manusia di dalam harta dan kekayaan, dan di bawah faktor-faktor yang lainnya, Allah SWT berfirman:
"Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki..." (An-Nahl: 71)
Perbedaan itu bukan merupakan suatu permainan belaka atau tanpa arti, akan tetapi memiliki hikmah, karena dengannya kehidupan ini akan tegak dan teraturlah urusan hidup. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Kami telah membagi (menentukan) antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah mengangkat (meninggikan) sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain..." (Az-Zukhruf: 32)
Yang dimaksud dengan mempergunakan di sini KLIK SELANJUTNYA YA...bukan paksaan dan merendahkan, akan tetapi dengan sistem yang administratif, karena kehidupan ini bagaikan pabrik yang besar (raksasa), yang di dalamnya ada yang memimpin dan dipimpin, ada supervisor ada karyawan biasa, ada juga satpam dan ada pelayan. Masing-masing dari mereka mempunyai tugas sendiri-sendiri, dan masing-masing mereka itu penting keberadaannya agar mesin kehidupan bisa beroperasi dan produktif.
Meskipun Islam menegaskan adanya prinsip perbedaan di dalam masalah rezeki dan perbedaan dalam kekayaan dan kemiskinan, tetapi jika kita lihat maka Islam juga berupaya untuk mendekatkan (mengurangi) sisi perbedaan antar golongan, sehingga membatasi penyimpangan orang-orang kaya dan mengangkat martabat orang-orang fakir dalam rangka mewujudkan tawazun (keseimbangan) dan menghilangkan sebab-sebab pertarungan dan permusuhan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Demikian itu karena sesungguhnya Islam membenci berputarnya kekayaan di tangan orang-orang tertentu yang mereka putar di antara mereka, sementara sebagian besar orang tidak memilikinya. Islam senang kalau harta itu tidak hanya berkisar pada orang-orang kaya saja. Oleh karena itu Islam memiliki beberapa sarana untuk mengatasi hal-hal seperti itu, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Mengharuskan orang kaya untuk tidak mengembangkan kekayaannya dengan cara-cara yang diharamkan, seperti riba, menimbun, menipu, memperdagangkan barang-barang terlarang dan sebagainya, seperti yang telah kita sebutkan sebelum ini. Dengan pembatasan masalah pengembangan harta ini, dapat menutup jalan menuju kekayaan yang curang dan keji.
Kedua, Diwajibkannya zakat pada harta orang-orang kaya, untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Ia merupakan pemungutan dan pemberian. Zakat sebagaimana disyari'atkan oleh Islam, tidak lain kecuali merupakan sarana untuk memberi pemilikan kepada kaum fuqara' sehingga dapat mencukupi kebutuhan mereka. Baik yang bersifat rutin tahunan atau secara terus menerus.
Imam Nawawi dan lainnya mengatakan, "Orang fakir dan miskin itu terus diberi sehingga terpenuhi kebutuhannya dan memperoleh kecukupan darinya. Hal itu berbeda-beda tergantung kepada kondisi orangnya. Orang yang mampu bekerja tetapi tidak mendapatkan alat ketrampilannya maka ia diberi uang untuk membeli alat itu, baik harganya murah atau mahal. Atau seorang pedagang diberi modal untuk memperbaiki bisnisnya, sekiranya keuntungannya dari bisnis bisa mencukupi kebutuhannya secara umum. Dan barangsiapa yang tidak pandai bekerja atau berdagang maka ia diberi secukupnya untuk pemenuhan kebutuhan seumur hidupnya secara umum."21)
Dengan demikian zakat bisa berfungsi untuk memperbanyak jumlah pemilikan dari orang-orang fakir. Dengan zakat itu Islam memberikan hak milik kepada orang yang bekerja yaitu dengan memberikan perabotan produksi, baik peralatannya atau pabrik atau sebagian dari pabrik, dan memberikan hak milik kepada petani berupa sawah atau sebagian dari sawah yang dimiliki bersama orang lain. Atau memberikan hak milik kepada pedagang dengan memberi tempat untuk berdagang dan peralatannya, dan juga memberikan hak milik kepada selain mereka berupa pekarangan atau lainnya. Atau sesuatu yang sekiranya bisa menjadi pemasukan rutin yang teratur sehingga bisa mencukupi kebutuhannya dengan sempurna dan juga mencukupi orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Semua itu diatur oleh lembaga zakat dengan memperhatikan secara optimal terhadap mereka dan apa yang ada di bawah tangan mereka.
Ketiga, Diwajibkannya penunaian kewajiban-kewajiban selain zakat kepada para aghniya', seperti nafkah untuk para kerabat, berbagai nadzar dan kaffaraat, menyembelih korban (wajib menurut madzhab Abu Hanifah), hak-hak tetangga dan famili, menyuguh tamu, memberi makan orang yang kelaparan, menolong orang yang terkena musibah, melepaskan tawanan, mengobati orang sakit, bantuan ketika ada musibah mendadak yang menimpa ummat seperti peperangan, kelaparan dan lain sebagainya. Rasulullah SAW bersabda:
"Tdak beriman kepadaku orang yang semalam suntuk ia kekenyangan, sementara tetanggannya kelaparan di sisinya sedangkan ia mengetahuinya" (HR. Thabrani dan Hakim)
Keempat, Pewarisan yang disyari'atkan oleh Islam ditujukan kepada anak-anak, kedua orang tua, para suami dan pemilik 'Ashabaat (sisa), dan orang yang punya hubungan famili, dengan syarat-syarat dan perincian perhitungan yang jelas. Ini merupakan faktor terbesar dalam membagi kekayaan dan mendistribusikannya, yaitu setelah matinya orang yang mewariskan dengan jumlah ahli waris yang cukup besar. Berbeda dengan sebagian sistem yang memberikan tarikah (tinggalan mayyit) untuk anaknya yang tertua dan sistem-sistem lain yang mirip dengan itu. Disamping itu ada yang disebut dengan "Wasiat" untuk selain ahli waris. Sebagian ulama salaf mewajibkan wasiat, berdasarkan firman Allah SWT:
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda maut), jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. Maka barangsiapa yang mengubah warna wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui." (Al Baqarah: 180)
Dari ayat inilah diambil undang-undang wasiat yang wajib, yang berupaya ingin mengobati penyakit terlantarnya anak cucu.
Kelima, Hak waliyyul 'Amrisyar'i dalam mengembalikan keseimbangan apabila rusak, dengan melalui harta umum seperti fai' dan lainnya. Bukan dengan cara mushadarah (mengeluarkan) hak milik yang resmi di mana pemiliknya harus komitmen terhadap hukum Islam. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membagi harta fai' Bani Nadhir, beliau membagikannya kepada Muhajirin saja tanpa melibatkan kaum Anshar kecuali hanya dua orang dari mereka yang sangat memerlukannya. Rahasia dari itu bahwa sesungguhnya kaum Muhajirin telah mengeluarkan diri dari rumah-rumah mereka dan mengorbankan harta mereka, sehingga perbedaan kondisi antara mereka dan saudara-saudaranya kaum Anshar besar sekali. Kaum Anshar memiliki tanah dan pekarangan sedangkan kaum Muhajirin hampir tidak memiliki apa-apa, betapa pun kaum Anshar juga telah memberikan teladan yang menarik dalam penghormatan mereka dan kesediaan mereka untuk ditempati serta itsar (sikap mendahulukan kepentingan saudaranya) mereka terhadap kaum Muhajirin. Tetapi tawazun yang diinginkan oleh Islam menjadikan Nabi SAW menyelesaikan persoalan ketika ada kesempatan yang pertama kali, dan Al Qur'an sendiri mendukung sikap Rasulullah SAW yang seperti ini. Bahkan juga menyebutkan hikmahnya bahwa harta rampasan itu dibagi hanya kepada kaum tertentu yang membutuhkan dari anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (musafir yang membutuhkan). Allah SWT berfirman:
"Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan (diputuskan) Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesunggahnnya Allah sangat keras hukum-Nya. (Al Hasyr: 7)
Sesungguhnya sikap Rasulullah SAW ini yang memberikan contoh yang haq kepada penguasa Muslim yang adil yaitu berhukum pada apa yang diturunkan Allah dengan mengkhususkan orang-orang fakir untuk diberi harta negara yang dapat mempersempit kesenjangan dan jurang pemisah antara mereka dengan orang-orang kaya, sehingga mampu mewujudkan keseimbangan ekonomi di dalam masyarakat Islam.
Lihat kitab Fiqh Zakat, 2/572-575
Sabtu, 08 Mei 2010
KEADILAN MENURUT HUKUM ISLAM
Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang asasi yang dibawa oleh Islam dan dijadikan sebagai pilar kehidupan pribadi, rumah tangga dan masyarakat adalah "Keadilan." Sehingga Al Qur'an menjadikan keadilan di antara manusia itu sebagai hadaf (tuluan) risalah langit, sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)
Tiada penekanan akan nilai keadilan yang lebih besar dari pada perkara ini (bahwa Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Nya) untuk mewujudkan keadilan.
Maka dengan atas nama keadilan kitab-kitab diturunkan dan PENGEN TAU KLIK SELENGKAPNYA DONG para rasul diutus. Dengan keadilan ini pula tegaklah kehidupan langit dan bumi. Dan yang dimaksud dengan keadilan adalah hendaknya kita memberikan kepada segala yang berhak akan haknya, baik secara pribadi atau secara berjamaah, atau secara nilai apa pun, tanpa melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi haknya dan tidak pula menyelewengkan hak orang lain. Allah SWT berfirman:
"Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (Ar-Rahman: 7-9)
Islam memerintahkan kepada seorang Muslim untuk berlaku adil terhadap diri sendiri, yaitu dengan menyeimbangkan antara haknya dan hak Tuhannya dan hak-hak orang lain.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Abdullah bin 'Amr ketika mengurangi haknya sendiri, yaitu dengan terus menerus puasa di siang hari dan shalat di malam hari.
"Sesungguhnya untuk tubuhmu kamu punya hak (untuk beristirahat), dan sesungguhnya bagi kedua matamu punya hak dan kepada keluargamu kamu punya hak, dan untuk orang yang menziarahi kamu juga mempunyai hak." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Islam juga memerintahkan bersikap adil dengan/terhadap keluarga, isteri, atau beberapa isteri, anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Allah SWT berfrman:
"Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja ..." (An-Nisa': 3)
Rasulullah SAW bersabda:
"Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Ketika Basyir bin Sa'ad Al Anshari menginginkan agar Nabi SAW menyaksikannya atas pemberian tertentu, ia mengutamakan pemberian itu untuk sebagian anak-anaknya. Maka Nabi SAW bertanya kepadanya:
"Apakah semua anak-anakmu kamu beri mereka itu seperti ini?" Basyir berkata, "tidak!," Nabi bersabda, "Mintalah saksi selain aku untuk demikian itu, sesungguhnya aku tidak memberikan kesaksian terhadap suatu penyelewengan." (HR. Muslim)
Islam memerintahkan kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia. yaitu keadilan seorang Muslim terhadap orang yang dicintai, dan keadilan seorang Muslim terhadap orang yang dibenci. Sehingga perasaan cinta itu tidak bersekongkol dengan kebathilan, dan perasaan benci itu tidak mencegah dia dari berbuat adil (insaf) dan memberikan kebenaran kepada yang berhak. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu ." (An-Nisa': 135)
Allah SWT memerintahkan kepada kita agar berlaku adil, sekalipun terhadap kaum yang kita musuhi, sebagaimana dalam firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al Maidah: 8)
Betapa banyak sejarah politik dan hukum dalam Islam yang menggambarkan keadilan kaum Muslimin terhadap orang-orang Muslimin dan keadilan para da'i terhadap rakyat.
Islam memerintahkan kepada kita untuk berlaku adil dalam perkataan kita, sehingga saat kita marah tidak boleh keluar dari berkata benar, dan di saat kita senang tidak boleh mendorong kita untuk berbicara yang tidak benar, Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah (kerabat (mu)É" (Al An'am: 152)
Islam juga memerintahkan kepada kita untuk bersikap adil dalam memberikan kesaksian, maka seseorang tidak boleh memberi kesaksian kecuali dengan sesuatu yang ia ketahui, tidak boleh menambah dan tidak boleh mengurangi, tidak boleh merubah dan tidak boleh mengganti, Allah SWT berfirman:
"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah ..." (Ath Thalaq: 2)
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah." (Al Maidah: 8)
Islam juga memerintahkan untuk bersikap adil dalam hukum, sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh) kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil ..." (An-Nisa': 58)
Banyak hadits yang menjelaskan tentang keutamaan "Imam dan Adil," dia adalah termasuk tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya. Dia juga termasuk tiga orang yang doanya tidak ditolak.
Selain lslam memerintahkan untuk berlaku adil dan mendorong ke arah sana, Islam juga mengharamkan kezhaliman dengan keras dan memberantasnya dengan kuat, baik kedhaliman terhadap diri sendiri apalagi terhadap orang lain. Terutama kezhaliman orang-orang yang kuat terhadap orang yang lemah, kezhaliman orang-orang kaya terhadap yang miskin dan kezhaliman pemerintah terhadap rakyatnya. Semakin manusia itu lemah, maka menzhaliminya semakin besar pula dosanya. Rasulullah SAW pernah memberikan wasiat kepada Mu'adz:
"Hati-hatilah terhadap doa orang yang dianiaya, karena tidak ada hijab (halangan) antara doa itu dengan Allah." (HR. Muttafaqun'Alaih)
Rasulullah SAW juga bersabda:
"Doa orang yang dianiaya itu akan diangkat oleh Allah ke atas awan, dan dibuka untuknya pintu-pintu langit, kemudian Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, sungguh akan Aku tolong kamu walaupun setelah beberapa saat." (HR. Ahmad dan Tarmidzi)
Di antara jelasnya bentuk keadilan adalah sebagaimana yang ditegaskan Islam. yang dalam istilah sekarang disebut "Keadilan Sosial" yang berarti keadilan dalam membagi kekayaan (negara). Dan membuka berbagai kesempatan yang memadai untuk anak-anak ummat Islam, ummat yang satu, dan memberi kepada orang-orang yang bekerja buah amalnya (upahnya) dari jerih payah mereka, tanpa dicuri oleh orang-orang yang berkemampuan dan orang-orang yang mempunyai pengaruh. Mendekatkan sisi- sisi perbedaan yang nampak antara individu dan golongan, antara golongan yang satu dengan yang lain, dengan memberikan batas dari monopoli orang-orang kaya di satu sisi dan berusaha untuk meningkatkan pendapatan orang-orang fakir di sisi lain.
Ini semua jauh-jauh telah diperhatikan oleh Islam, sehingga Al Qur'an ketika diturunkan di Mekkah pun tidak melupakan permasalahan tersebut, bahkan memberikan perhatiannya yang sangat dalam lingkup yang luas.
Maka barangsiapa yang tidak memberi makan kepada orang-orang miskin, ia termasuk ahli Neraka Saqar. Allah SWT berfirman:
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka)? Mereka menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan tidak (pula) memberi makan orang miskin." (Al Muddatstsir: 42-44)
Tidak cukup juga kamu hanya memberi makan orang miskin, tetapi kamu juga harus ikut mendakwahkan kepada orang lain untuk memberi makan orang miskin dan menyerukan kepada orang lain untuk memperhatikan kepentingan dan keperluan mereka. Allah SWT berfirman:
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yahm, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin." (Al Maa'un: 1-3)
Al Qur'an mengumpulkan sikap orang yang menelantarkan orang miskin bersama kekufuran kepada Allah, yang menjadikan wajibnya seseorang untuk memperoleh adzab yang pedih dan masuk ke neraka Jahim, sebagaimana firman Allah SWT:
"(Allah berfirman), "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dahulu dia tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong untuk memberi makan orang miskin." (Al Haqqah: 30-34)
Masyarakat jahiliyah itu tercela dan dimurkai oleh Allah karena mereka menelantarkan orang-orang lemah dan hanya mementingkan orang-orang yang kuat untuk memakan harta waris dan mencintai harta mereka.
"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampuradukkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan." (Al Fajr: 17-20)
Islam telah memperhatikan masyarakat lemah. Sebagai realisasinya Islam menentukan hukum dan sarana untuk menyediakan kerja yang sesuai bagi setiap orang yang tidak mendapatkan kerja, gaji (upah) yang adil untuk setiap pekerja (karyawan), makanan yang cukup untuk setiap yang kelaparan, pengobatan yang cukup untuk setiap orang yang sakit, pakaian yang pantas untuk setiap yang telanjang dan mencukupi secara penuh untuk setiap yang membutuhkan, seperti makanan pakaian dan tempat tinggal serta segala sesuatu yang harus dipenuhi, sesuai kondisinya, tanpa berlebihan dan tanpa mengurangi. Islam memperhatikan orangorang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Inilah definisi Imam Nawawi dalam kitabnya "Al Majmu."
Untuk memenuhi kebutuhan di atas maka Islam mewajibkan hak-hak harta di dalam harta orang-orang kaya yang mana awal dan akhirnya adalah zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, yang harus dilaksanakan oleh seorang Muslim dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. Jika ia menolak maka harus diambil secara paksa. Dan kalau ada kelompok kuat yang membelanya maka harus diperangi dengan pedang.
Zakat itu diambil dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang fakir, dengan demikian maka dari ummat untuk ummat.
Menurut pendapat yang arjah (lebih unggul) bahwa orang fakir itu diberi zakat untuk mencukupi kebutuhan selama hidup. Dalam batas yang umum selama hasil zakat itu memungkinkan, dengan demikian pada tahun mendatang ia akan menjadi pemberi, bukan pemungut, ia berada di atas bukan lagi di bawah.
Telah disusun beberapa buku tentang masalah ini yang telah sepantasnya untuk ditelaah12), dan di dalam kitab kami yang berfudul "Ash-Shahwah Al lslamiyah wa humumul wathan Al 'Arabi wal lslami" terdapat garis-garis besar yang ditekankan pada pembahasan pilar-pilar keadilan sosial dalam Islam, sangat baik jika anda jadikan sebagai referensi.
Dari Kitab Syaikh Muhammad Al Ghazali, 'Al Islam wal Audha'u al Iqtishadiyah